SUARA PEMBACA

Sengkarut Sektor Kesehatan Tuntas dengan Islam

Baru-baru ini kembali merebak berita yang dibawa oleh 35.000 dokter gigi di Indonesia, memprotes kerjasama dengan pihak BPJS. Para dokter gigi tersebut mengancam akan menarik diri untuk bekerjasama dengan BPJS jika tuntutan mereka tak dikabulkan. Pernyataan keras tersebut disampaikan Wakil Ketua Umum PB. PDGI (Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia) drg, Ugan Gandar setelah melantik Pengurus Wilayah PDGI Provinsi Sumatera Barat dan 11 Pengurus Cabang PDGI Kabupaten Kota se-Sumatera Barat, pada Sabtu (8/9/2018), di Aula Istana Bung Hatta, Bukittinggi. Menurut drg. Ugan Gandar, bahwa dokter gigi merasa diabaikan dan diperlakukan tidak setara dan tidak memperhatikan asas keadilan oleh BPJS.

Ugan mengungkapkan, bahwa sejak awal PDGI, sebenarnya sudah menyatakan ketidak setujuannya atas penetapan nilai kapitasi BPJS yang Rp 2000, akan tetapi karena mendukung UU No 14 tahun 2014 tentang Jaminan kesehatan Nasional. Ugan juga mengungkapkan tentang JKN ini, merupakan program yang salah urus. Sehingga saat ini BPJS mengalami defisit sebesar Rp6 Trilyun. (www.wartaandalas.com/berita-dokter-gigi-seluruh-indonesia-ancam-tak-mau-kerjasama-lagi-dengan-bpjs)

Krisis di Sektor Kesehatan

Tak hanya baru-baru ini kekisruhan BPJS terjadi. Seolah telah menjadi kegagalan produk yang sering mendapat komplain dari masyarakat luas. Namun tak membuat perubahan dalam internal tubuh BPJS sendiri. Mengatasnamakan slogan gotong royong, program ini mulai berjalan 2014 dan mulus pada awalnya. Semakin kesini, semakin banyak aturan yang dibuat oleh badan otonom tersebut, semakin bertindak diluar dari kewenangan tenaga medis. Teringat beberapa waktu sebelumnya, juga muncul protes dari organisasi profesi IDAI, PERDOSRI, PERDAMI dan POGI terkait 3 aturan perubahan yang diluncurkan BPJS bulan agustus lalu. Peraturan baru BPJS Kesehatan yang diterbitkan itu mengatur tentang pelayanan ibu bersalin beserta bayinya, pasien katarak, dan pasien fisioterapi. Namun hal itu dianggap punya dampak buruk pada kondisi kesehatan pasien, sampai akhirnya para dokter pun protes.

Semakin hari defisit BPJS Kesehatan semakin besar. Kita tak sedang membahas persoalan defisitnya BPJS. Keuangannya sudah sangat mepet, perlu tindakan cepat dari pemerintah untuk mengatasi hal ini. Pembayaran ke RS misalnya tertunda hingga 3 bahkan 9 bulan. Korban pertama adalah tenaga kesehatan, banyak yang jasa medisnya tidak dibayarkan hingga berbulan-bulan. Di beberapa tempat ada yang tidak dibayarkan hingga 10 bulan. Karena tidak kunjung dibayar akhirnya banyak yang memutuskan mengundurkan diri dan pindah tempat kerja. Loyalitas dokter sebagai tenaga profesional diuji di negeri ini. Mengabdikan dirinya demi kesehatan masyarakat adalah sumpah yang telah dilakukannya saat mengakhiri studi. Tak sedikit dokter yang berada di pedalaman ikhlas mengabdikan dirinya untuk memperbaiki taraf kesehatan masyarakat di sana. Meski tak sebanding dengan upah yang diterimanya, namun tak menyurutkan tenaga medis tak hanya dokter, bidan dan perawatpun merasakan.

Di era JKN ini, dokter gigi hanya setara dengan tukang parkir, yakni dibayar 2000 rupiah per pasien. Kapitasi di puskesmas maupun klinik swasta juga dibayarkan sebesar 10.000 rupiah. Di satu sisi, tenaga medis di Puskesmas, Klinik maupun RS diminta untuk memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Di sisi lain, penghargaan atas keprofesionalan mereka tak setara dengan ilmu yang mereka raih. Bukannya tenaga medis bersikap matrealistis, tetapi sepadankah jasa yang mereka berikan dengan jerih payah yang mereka terima?

Lantas, bisakah dokter sejahtera? Jelas tidak akan bisa selama sistem yang dijalankan adalah model kapitalisasi-privatisasi seperti saat ini. Menyerahkan urusan kesehatan kepada pihak lain adalah bukti lepasnya tanggungjawab negara mengurusi persoalan kesehatan masyarakatnya. Sistem yang berkembang sekarang tidak akan pernah bisa menjawab tantangan kesehatan yang dipenuhi arus kapitalisme sekuler. Tenaga medis hanya akan diperas keringatnya tanpa diperhatikan kesejahteraan hidupnya. Negara tak ubahnya sebagai wasit di sebuah perusahaan yang hanya melihat para pemain modal mengatasi segala urusan yang terjadi. Jika dokter sebagai tenaga ahli tak diberikan haknya, bagaimana dia akan mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat, meski terikat sumpah? Dokter juga seorang manusia yang penuh dengan kebutuhan lainnya. Ketika urusan kesehatan ini hanya disandarkan kepada BPJS, maka korban terbesar berikutnya yang merasakan dampaknya adalah masyarakat.

Kesehatan dalam konsep Islam

Berbagai fakta historis kebijakan di bidang kesehatan yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Islam sejak masa Rasul saw. menunjukkan taraf yang sungguh maju. Pelayanan kesehatan gratis diberikan oleh negara yang dibiayai dari kas Baitul Mal. Adanya pelayanan kesehatan secara gratis, berkualitas dan diberikan kepada semua individu rakyat tanpa diskriminasi jelas merupakan prestasi yang mengagumkan. Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”

Menurut Ketua Institut Internasional Ilmu Kedokteran Islam, Husain F Nagamia MD, di dunia, rumah sakit yang sebenarnya baru dibangun dan dikembangkan mulai awal kejayaan Islam dan dikenal dengan sebutan ‘Bimaristan’ atau ‘Maristan’. Rumah sakit, meski baru tahap awal dan belum bisa benar-benar disebut RS, pertama kali dibangun pada masa Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah. RS Islam pertama yang sebenarnya dibangun pada era Khalifah Harun ar-Rasyid (786 M – 809 M). Konsep pembangunan beberapa RS di Baghdad itu dan pemilihan tempatnya merupakan ide brilian dari Ar-Razi, dokter Muslim terkemuka. Djubair, seorang sejarahwan yang pernah mengunjungi Baghdad tahun 1184 M, melukiskan bahwa rumah sakit-rumah sakit itu memiliki bangunan megah dan dilengkapi dengan peralatan modern.

Pelayanan kesehatan berkualitas hanya bisa direalisasikan jika didukung dengan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai serta sumber daya manusia yang profesional dan kompeten. Penyediaan semua itu menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara karena negara berkewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan dasar berupa kesehatan dan pengobatan. Karenanya, negara memiliki kewajiban membangun berbagai rumah sakit, klinik, laboratorium medis, apotik, pusat dan lembaga litbang kesehatan, sekolah kedokteran, apoteker, perawat, bidan dan sekolah lainnya yang menghasilkan tenaga medis, serta berbagai sarana prasarana kesehatan dan pengobatan lainnya. Negara juga wajib mengadakan pabrik yang memproduksi peralatan medis dan obat-obatan; menyediakan SDM kesehatan baik dokter, apoteker, perawat, psikiater, penyuluh kesehatan dan lainnya.

Pelayanan kesehatan harus diberikan secara gratis kepada rakyat baik kaya atau miskin tanpa diskriminasi baik agama, suku, warna kulit dan sebagainya. Pembiayaan untuk semua itu diambil dari kas Baitul Mal, baik dari pos harta milik negara ataupun harta milik umum. Semua pelayanan kesehatan dan pengobatan harus dikelola sesuai dengan aturan syariah termasuk pemisahan pria dan wanita serta hukum-hukum syariah lainnya. Juga harus memperhatikan faktor ihsan dalam pelayanan, yaitu wajib memenuhi 3 (tiga) prinsip baku yang berlaku umum untuk setiap pelayanan masyarakat dalam sistem Islam: Pertama, sederhana dalam peraturan (tidak berbelit-belit). Kedua, cepat dalam pelayanan. Ketiga, profesional dalam pelayanan, yakni dikerjakan oleh orang yang kompeten dan amanah. Semua hanya akan terwujud ketika konsep kesehatan berada di tangan negara sebagai pengelolanya.

Drg Endartini Kusumastuti
Praktisi Kesehatan

Artikel Terkait

Back to top button