SIRAH NABAWIYAH

Seruan Azan di Kota Madinah

Azan harus dikumandangkan dengan suara yang bagus, merdu dan kuat (keras). Bukan sayup-sayup yang malah akan membuat orang tertidur pulas.

Aktivitas pertama yang dilakukan Rasulullah di Madinah adalah membangun Masjid. Bersama para sahabat, Rasulullah bahu membahu membangun Masjid Nabawi. Setelah bangunan selesai, Rasulullah bermusyawaran dengan para sahabat untuk menciptakan suatu tindakan guna membangunkan orang yang tertidur dan mengingatkan orang yang lupa, serta memberitahukan manusia mengenai masuknya waktu untuk melaksanakan shalat.

Di antara mereka ada yang berpendapat dengan diangkat bendera ketika waktu shalat datang supaya dapat dilihat seluruh orang. Akan tetapi semua orang menolak pendapat ini. Karena hal tersebut tidak mampu membangunkan orang yang tidur dan orang yang lupa.

Kemudian yang lainnya berpendapat dengan menyalakan api di dataran tinggi. Akan tetapi pendapat ini pun tidak diterima. Kemudian yang lain mengisyaratkan dengan menggunakan terompet, sebagaimana yang digunakan kaum Yahudi sebelum melakukan ibadah mereka. Maka Rasulullah pun tidak menyukainya, karena amalan-amalan Islam berbeda dengan amalan-amalan Ahli Kitab.

Kemudian ada sebagian sahabat Nabi yang mengusulkan untuk menggunakan lonceng sebagaimana yang dilakukan kaum Nasrani. Rasulullah juga tidak menyukainya. Maka muncullah ide dari sebuah kelompok untuk mengumandangkan seruan atau ajakan jika waktu shalat telah masuk. Diterimalah usulan ini.

Salah seorang yang ditugasi sebagai orang yang mengumandangkan seruan shalat adalah Abdullah bin Zaid al-Anshari. Ketika dia tidur, dia bermimpi didatangi seseorang yang mengajarkan seruan shalat. Orang itu berkata, “Maukah engkau aku ajari bacaan untuk seruan shalat?. Dia mejawab, “Tentu saja”.

Orang itu pun berkata, ”Ucapkanlah: Allahu akbar sebanyak dua kali, syahadat sebanyak dua kali, kemudian ucapkan pula hayya ‘ala ash-sholah sebanyak dua kali, dan kemudian hayya ‘ala al-falah sebanyak dua kali. Kemudian takbir sebanyak dua kali dan terakhir membaca la ilaha ilallah.”

Saat bangun, ia langsung menghadap Rasulullah dan melaporkan mimpi itu. Beliau bersabda, “Mimpi itu benar.” Kemudian beliau pun berkata, “Ajarkanlah kepada Bilal karena dia yang paling keras suaranya di antara kalian.” Ketika Bilal mengumandangkan azan untuk melaksanakan shalat, datanglah Umar bin Khattab sambil mengangkat pakaiannya, dia berkata, ”Demi Allah, aku pun bermimpi yang sama wahai Rasulullah.”

Maka jadilah Bilal salah satu juru azan di Madinah, dan satu lagi Abdullah bin Ummi Maktum. Ketika azan subuh Bilal menambahkan setelah ucapan hayya ‘alal al-falah dengan kalimat ash-shalatu khairun minan-naum sebanyak dua kali dan Rasulullah pun menyetujui hal tersebut.

Pada awalnya azan dikumandangkan di tempat yang tinggi, kemudian dibangunkan menara khusus sebagai tempat azan. Ini bertujuan agar azan bisa didengarkan oleh semua kaum muslimin. Sekarang dengan kecanggihan teknologi cukup dengan pengeras-pengeras suara yang dipasang di Masjid atau mushola. Walaupun umat Islam tetap membangun menara di sisi masjid.

Azan hukumnya fardhu kifayah bagi penduduk negeri-negeri, baik kota maupun desa, kecuali mereka yang berada di ladang pertanian, kebun-kebun atau mereka yang sedang melakukan perjalanan. Dari Abu Darda ra, ia berkata; aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Tidakkah tiga orang di desa, lalu tidak dikumandangkan azan dan iqamah untuk shalat disuatu desa, kecuali mereka telah dikuasai setan…” (HR. Ahmad)

Muadzin juga mendapatkan keutamaan atas apa yang dia serukan, sebagaimana hadits yang diwiyatakan Imam Ahmad dan Nasa’i, “Dan muadzin itu baginya diberikan ampunan sekeras suaranya, dan dibenarkan oleh orang yang mendengarnya yang berasal dari tanah kering dan basah, dan baginya semisal pahala orang yang shalat bersamanya.”

Wallahu a’lam bishshawaab.

(shodiq ramadhan)

Artikel Terkait

Back to top button