Shalawat sebagai Penawar Hati

Syair klasik karya Imam al-Bushiri dalam al-Burdah juga mengisyaratkan hal ini:
“Dialah sang penolong dari segala petaka yang menimpa,
Dengan namanya hilanglah resah dan derita yang melanda.”
shalawat yang dilantunkan dengan khusyuk menjadi terapi psikologis dan ruhani. Ia mengalirkan ketenangan yang tak bisa digantikan oleh hiburan duniawi. Dalam tradisi pesantren, shalawat Nariyah atau Tibbil Qulub bahkan diyakini sebagai wasilah untuk menghilangkan kesulitan dan kesempitan hidup.
Membaca shalawat tidak membutuhkan kondisi khusus. Ia bisa dilantunkan: Saat perjalanan menuju kantor atau pasar, di sela-sela kesibukan rumah tangga, setelah shalat fardhu dan sunnah, dan saat hati mulai gundah tanpa sebab.
Dengan membiasakan shalawat, seorang mukmin akan merasakan kelegaan batin yang bertahap. Bahkan, kesumpekan yang tampak berat akan larut dalam cahaya cinta kepada Rasulullah Saw.
Dalam kehidupan yang penuh tekanan, manusia membutuhkan penawar hati. Islam telah memberikan shalawat sebagai kunci pembuka kelapangan dada. Mengingat Rasulullah berarti mengingat rahmat Allah, dan mengingat Allah adalah sumber ketenangan sejati.
Seperti kata hikmah ulama salaf: “Barangsiapa hatinya gelisah, perbanyaklah shalawat. Karena shalawat adalah hujan rahmat yang memadamkan api kegelisahan.”
Maka, mari kita hidupkan hari-hari kita dengan shalawat. Karena dalam setiap shalawat yang terucap, tersimpan penawar bagi hati yang sumpek dan resah, dan jalan menuju ketenteraman jiwa yang hakiki.[]
FAKHURRAZI AL KADRIE