Siapkah Menghadapi “New Normal Life”?
Pemerintah pusat sudah merilis beberapa skenario “new normal life” untuk pekerja (PNS, BUMN dan Perusahaan). New normal life tidak lain kehidupan normal yang menyesuaikan dengan protokol baru dalam lingkungan. Baik di lingkungan kerja, bisnis, dsb. Misalnya, perusahaan diminta mengatur jarak antarpekerja minimal satu meter.
Hal itu tertuang dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/335/2020 tentang Protokol Pencegahan Penularan Corona Virus Disease (COVID-19) di Tempat Kerja Sektor Jasa dan Perdagangan (Area Publik) dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha. (Detik.com)
Begitu juga bagi perusahaan ritel, pemerintah mewajibkan penggunaan pembatas di kasir untuk memberikan jarak dengan konsumen. Pembeli juga diharapkan menggunakan pembayaran nontunai.
Adapun tentang sekolah yang akan dibuka kembali, diwacanakan akan menghilangkan jam istirahat dan mengurangi jam belajar hanya menjadi empat jam saja. Berdasarkan rekomendasi yang diusulkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dalam perumusan protokol new normal di sekolah. (Kompas.com, 28/5)
Semua upaya menormalkan kehidupan seperti diatas, sangat terasa karena mengutamakan kondisi ekonomi. Karena jika merujuk pada data saintifik belum menunjukkan landaian kurva Covid-19, di dunia maupun di Indonesia. Setidaknya begitu yang dinyatakan oleh IAKMI. Bahkan di sejumlah negara, kurva melandai yang kembali naik menunjukkan adanya gelombang pandemi kedua.
Mengikuti Tren Global?
Sepertinya pemerintah tidak punya pilihan kecuali mengikuti tren global. Alias mengikuti kebijakan negara adidaya dunia, termasuk PBB dan WHO dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini.
PBB telah mencanangkan konsep “new normal” sebagai formula dan peta jalan bagi solusi persoalan dunia hari ini.
Dimuat dalam lamannya melalui artikel tertanggal 27 April 2020 bertajuk “A New Normal: UN lays out roadmap to lift economies and save jobs after Covid-19” (New Normal: Peta jalan yang diletakkan PBB bagi peningkatan ekonomi dan penyelamatan lapangan pekerjaan setelah Covid-19), dinyatakan, “Kondisi ‘normal yang dulu’ tidak akan pernah kembali, sehingga pemerintah harus bertindak menciptakan ekonomi baru dan lapangan pekerjaan yang lebih banyak.”
Sejalan dengan fungsi PBB, World Health Organization (WHO), underbow PBB di bidang kesehatan, telah memberikan dukungan resmi melalui News Release 15 Mei 2020 bertajuk “Local epidemiology should guide focused action in ‘new normal’ Covid-19 world”.
Dinyatakan, “Di tengah peningkatan kasus Covid-19 sementara negara-negara di wilayah WHO Asia Tenggara secara bertahap melonggarkan penguncian (lockdown), maka WHO hari ini mengatakan bahwa penilaian yang cermat terhadap epidemiologi lokal harus menjadi panduan tindakan dalam memerangi virus di masa yang akan datang.
Konsep new normal yang ditawarkan tampak menjadikan faktor keselamatan ekonomi dunia sebagai yang utama, bukan soal keselamatan nyawa manusia. Karena faktanya, bukakah AS justru menjadi negara yang paling banyak korban meninggal karena Covid-19 ini?
Lalu, bagaimana dengan Indonesia, apakah benar-benar siap untuk mengikuti tren global di atas dengan segala konsekuensinya?
Disatu sisi, para ahli kesehatan mengatakan bahwa jika melihat kurva epidemiologi yang jangankan melandai, menunjukkan titik puncak (peak) pun belum.