Silakan Megawati ‘Salam Pancasila’, Umat Islam Tetap ‘Assalamualaikum’
Begitulah kini Pancasila digunakan banyak pejabat sebagai topeng. Topeng menutupi ketidakmampuannya memakmurkan rakyat. Mestinya, Pancasila bukan untuk digembar-gemborkan, tapi untuk diamalkan. Dan bagi umat Islam, masalah hubungan umat Islam dan Pancasila sudah selesai. Tokoh-tokoh Islam seperti Mohammad Natsir, Buya Hamka, Wahid Hasyim dan lain-lain, tidak mempermasalahkan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila telah disepakati oleh founding fathers negara ini sebagai perjanjian bersama untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Kata Natsir, Pancasila adalah lima sila sedangkan Islam itu induk sila. Maknanya Pancasila itu lima sila (prinsip), sedangkan Islam itu ribuan prinsip. Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Kalau umat Islam menjalankan syariat Islam dengan benar, pasti Pancasilais.
Intisari Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa, Bukan Gotong Royong
Pernyataan Megawati yang menyatakan bahwa intisari Pancasila gotong royong, juga patut dipertanyakan. Gotong royong bidang apa? Kerjasama bidang apa? Apakah semua harus dikerjasamakan? Pernyataan Megawati ini mengulangi penyataan ayahnya, Soekarno.
Disinilah makna agama (Islam) menjadi penting. Dalam Islam (Al-Qur’an), kerjasama hanya dibolehkan dalam bidang kebaikan dan takwa. Kerjasama dilarang dalam bidang dosa dan permusuhan (al Maidah ayat 2). (Lihat: Megawati Apa yang Kau Cari?)
Karena itu, dalam sejarah bangsa kita, umat Islam mesti punya saham 90 persen (lebih) dalam kemerdekaan bangsa ini, tapi tetap mengajak umat lain untuk bersama-sama membangun bangsa ini. Pengorbanan paling besar umat Indonesia, adalah menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta pada 18 Agustus 1945. Meski kemudian Presiden Soekarno ‘menyadari kesalahannya’ dan mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang antara lain isinya menyatakan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. (Lihat: Orde Jokowi Melawankan Kembali Pancasila dengan Islam)
Bila Mega menyatakan bahwa inti Pancasila adalah gotong royong, maka Hatta dan Hamka menyatakan bahwa ‘inti Pancasila’ adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Mohammad Hatta, mantan Wakil Presiden menyatakan bahwa sila pertama itu yang menyinari sila-sila lainnya. Ulama besar Buya Hamka menyatakan bahwa Pancasila akan hampa tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Khotbah Idulfitri di Istana Negara, 1 Januari 1968 Hamka menyatakan:
”Dimanakah rahasia kekuatan kita ini?” Adakah pada senjata, pada roket dan peluru kendali, pada bedil dan meriam, kapal udara dan kapal terbang? Di sini hadir Jenderal Soeharto yang memimpin perjuangan dahsyat menghancurkan kekuatan komunis itu pada 1 Oktober 1965, cobalah tanyakan kepada beliau dimana letaknya kekuatan kita itu?
Wahai kaum Muslimin, kalau hendak mengkaji rahasia kekuatan ini dengan lebih mendalam, janganlah ditilik kepada benda atau materi yang ada di depan mata. Tetapi lihatlah ke dalam batin, lihatlah ke dalam jiwa, di sanalah dia akan bertemu. Segi kekuatan kita adalah kepercayaan kita. Segi kekuatan kita ialah iman dan akidah kita.
Sejak 700 tahun yang lalu atau sejak 1000 tahun yang telah lalu, gema Al-Qur’an dari padang pasir telah sampai ke negeri ini, kepulauan kita yang indah ini. Nenek moyang kita sejak dulu, meskipun tidak pernah bertemu muka dengan Nabi Muhammad saw, namun mereka telah menyatakan iman pada ajarannya. Muhammad Saw bersabda, ”Berbahagialah orang-orang yang telah sempat melihat wajahku, lalu beriman kepadaku, tetapi lebih berbahagia lagi (tujuh kali), bagi mereka yang beriman kepadaku, padahal dia belum pernah melihat wajahku.” (Lihat Buku Hamka, Dari Hati ke Hati, Pustaka Panjimas/GIP, 2005)
Walhasil, Mega yang sudah berumur 74 tahun ini idealnya lebih banyak shalat, zikir, banyak bersedekah, belajar Al-Qur’an dan sering pergi ke Masjid.’ Jangan memikirkan’ lagi duniawi yang sifatnya sementara. Begitulah biasanya yang terjadi pada Muslim Jawa bila sudah tua. Tapi rasanya itu sulit terjadi, karena yang mengelilingi Mega sekarang adalah Hasto dan kawan-kawan yang tidak mengenal Islam. Wallahu azizun hakim. []
Nuim Hidayat, Anggota MIUMI dan MUI Depok.