NUIM HIDAYAT

Sjafruddin Prawiranegara, Presiden Paling Berani di Indonesia

Lebih Takut Kepada Allah SWT, begitulah Ajip Rosisi memberi judul biografi Sjaruddin Prawiranegara. Ajip memang luar biasa. Karya-karya biografinya selalu monumental. Perjalanan hidup Mohammad Natsir yang ditulisnya, hingga kini menjadi magnum opus yang selalu menjadi rujukan bagi kalangan ilmuwan bila ingin tahu tentang sejarah tokoh besar Masyumi ini.

Begitulah pula di bukunya ini. Sastrawan dari Sunda ini menulis dengan cermat. Ia memulainya dengan menulis orang tua Sjafruddin. Ayahnya, Raden Arsjad Prawiraatmadja adalah seorang camat di daerah Banten. Pemerintah Belanda selalu menempatkan orangnya untuk mendampingi pejabat dari pribumi. Arsjad, mempunyai pendamping (kontrolir), seorang Belanda yang angkuh bernama PWJ Bischoff. Pejabat Belanda ini memang pintar, sebelum ditugaskan di wilayah Banten, Bischoff telah mempelajari bahasa Sunda di Universitas Leiden, Belanda.

Bischoff selalu menggunakan bahasa Sunda bila bicara dengan orang-orang pribumi, meski bahasa Sundanya menggelikan dan banyak kesalahan. Bagi Arsjad, bercakap-cakap dalam bahasa Sunda adalah menyenangkan. Tapi ia tidak nyaman dengan bahasa Sunda yang dipakai Bischoff. Apalagi Arsjad juga fasih berbahasa Belanda.

Baca juga: Sjafruddin Prawiranegara, Presiden Darurat Republik Indonesia

Maka pada suatu hari, ketika sang kontrolir berkunjung ke Kecamatan Anyar Kidul, Banten, Arsjad harus berhadapan dengannya. Ia mempersilakan Bischoff duduk di atas kursi dan dia duduk di atas kursi lain. Tentu saja Bischoff kaget, karena biasanya bila ia duduk di kursi, pejabat pribumi yang dikontrolnya duduk bersila di bawah.

Kebetulan Arsjad juga suka teknologi. Waktu itu ia membawa alat pemotret yang langka itu, di atas meja. Melihat alat itu, Bischoff bertanya dalam bahasa Sunda dan Arsjad menjawabnya dalam bahasa Belanda. Bischoff berang. Ia mengatakan bahwa camat bertindak tidak sopan karenasebagai pribumi memiliki alat pemotret dan kurang ajar karena telah menjawab pertanyaan bahasa Sunda dengan bahasa Belanda. Camat Arsjad pun naik pitam,”Mengapa memiliki alat pemotret yang dibeli sendiri dianggap tidak sopan? Dan mengapa berbicara dalam bahasa Belanda disebut kurang ajar? Saya di sekolah disuruh mempelajari bahasa itu. Kalau tidak boleh digunakan, lantas buat apa harus mempelajarinya bertahun-tahun?” Amarahnya diungkapkannya dalam bahasa Sunda.

Bischoff makin marah. Ia mengeluarkan cacian-cacian sangat kasar kepada Arsjad. Camat Arsjad mendapat cacian kasar itu menjadi naik pitam dan gelap mata. Tanpa berfikir panjang, dipegangnya leher baju sang kontrolir yang lebih tinggi darinya itu dan ditariknya dengan keras. Bischoff kaget, karena selama ini ia tidak pernah diperlakukan demikian. Belum hilang kekagetannya, Arsjad memukul mukanya bertubi-tubi. Bischoff kaget, karena selama ini ia menganggap bahwa pribumi selalu bersikap lemah lembut kepadanya. Ia tidak berani melawan.

Tentu peristiwa itu menjadikan pemerintah Belanda murka. Beberapa hari kemudian datanglah surat keputusan yang menyatakan bahwa Raden Arsjad Prawiraatmadja diturunkan pangkatnya menjadi mantra kabupaten di Serang. Jabatan itu satu tingkat dibawah asisten Wedana (camat) dan merupakan jabatan administrative. Bukan jabatan yang menguasai daerah tertentu.

Raden Arsjad tadinya tidak terlalu akrab dengan syariat Islam. Tetapi lama kelamaan berubah. Ia tertarik saat itu untuk masuk pada gerakan Sarekat Islam. Ia yang senang berpakaian pantolan dan jas ala Belanda, menjadi perhatian masyarakat sekelilingnya. Saat itu ia menjadi satu-satunya orang yang shalat di masjid memakai pantolan. Jamaah yang lain, rata-rata memakai sarung.

Sarekat Islam yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu berkembang pesat. Pada 1914 cabang Sarekat Islam di Serang didirikan dan pada tahun 1916 anggotanya sudah mencapai 4539 orang.

Raden Asrjad terus dipantau gerak geriknya oleh pemerintah Belanda. Karena keaktifannya di Sarekat Islam, maka ia kemudian dipindahkan ke Ngawi, Jawa Timur. Di sana ia menjadi jaksa. Kepindahannya ke Ngawi ini memberikan dampak bagi pendidikan Sjafruddin. Ia akhirnya harus melanjutkan sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat SMP, di Madiun. Ngawi tidak begitu jauh jaraknya dengan Madiun. (Bersambung)

Nuim Hidayat, Dosen Akademi Dakwah Indonesia Depok.

Artikel Terkait

Back to top button