Skor PPH Naik, Benarkah Sejalan dengan Realita?
Badan Pangan Nasional mengatakan bahwa skor PPH (Pola Pangan Harapan) Indonesia meningkat menjadi 94,1% dimana meningkat dari tahun 2022 di skor 92,9%.
Mengenai skor PPH ini dijelasskan oleh Plt Sekretaris Utama Bapanas, Sarwo Edhy, ini merupakan tolak ukur tercukupinya baik dari segi kuantitas dan kualitas pangan yang di konsumsi masyarakat dan skor ini menjadi entry point menuju ketahanan pangan yang diharapkan oleh pemerintah (Antaranews.com, 16/2/2024).
Berbicara tentang pangan maka kita juga patut menyoroti angka stunting dimana data pada tahun 2022 menurut data dari BKKBN ada sekitar 21 juta yang berisiko stunting. Dimana prevalensi stunting masih menggunakan data di tahun 2022 yaitu 21,6% dan pemeritah menargetkan angkanya bisa ditekan menyentuh 14% di tahun 2024 ini.
Maka ketika kita mengacu kepada skor PPH dan angka stunting terlebih sekarang peristiwa kenaikan harga beras yang sangat tinggi untuk ukuran negara agraris seperti Indonesia, maka ini harus dievaluasi kembali.
Distribusi Pangan Masih Menjadi Problem
Ketersediaan pangan seringkali tidak sejalan antara yang diberitakan dan yang terjadi dilapangan. Seringkali ada klaim bahwa stok pangan di tahun ini aman, namun realitanya masih banyak yang tidak dapat mengakses pangan artinya produksi dan konsumsi berjalan namun tidak melihat apakah distribusinya berjalan sebagaimana mestinya?
Aspek distribusi juga penting sebab ketersediaan tidak ada artinya manakala tidak bisa terbeli oleh rakyat. Banyak faktor, ada karena kemiskinan juga manipulasi dari para penimpun sehingga yang harusnya diperoleh dengan harga normal justru harga melonjak tinggi. Inilah yang masih menjadi PR bagi pemerintah, bahwa produksi tanpa ada pengawasan distribusi maka rakyat juga akan sulit mendapatkan pangan.
Naiknya skor PPH ini menjadi apresiasi namun juga harus disertai dengan evaluasi disetiap aspek terkait pangan. Seperti harga bahan pokok apakah mampu terbeli oleh masyarakat. Kemudian kuantitasnya apakah memenuhi kebutuhan masyarakat secara menyeluruh.
Tak lupa akan rantai distribusi pangan, sudahkah sesuai dengan mekanisme pasar? Sebab kita sudah harus banyak belajar dari beberapa peristiwa di negeri ini, sebagaimana kasus langkanya minyak goreng di tahun 2021 lalu berakibat pada mafia minyak goreng. Kemudian hari ini kita dihantam dengan melonjaknya harga beras yang menyentuh harga 20.000/kg termahal sepanjang sejarah. Padahal beberapa bulan lalu dibeberapa daerah mengalami panen raya. Jelas sebagai masyarakat kita skeptis atas permasalahan pangan hari ini.
Islam, Kedaulatan Pangan dan Tugas Negara
Saat ini di negeri kita masih belum mampu mewujudkan swasembada pangan sebab di sektor pangan kita masih bergantung kepada impor dan sudah pasti belum mampu terwujud kedaulatan pangan. Kita diberi harapan akan adanya lahan food estate yang digadang-gadang akan menciptakan kedaulatan pangan dalam negeri namun justru proyek itu sampai saat ini mengandung masalah.
Kedaulatan pangan dalam Islam adalah manakala negara mampu memenuhi kebutuhan asasi bagi rakyatnya diantaranya kebutuhan akan makan. Islam menetapkan bahwa tanggung jawab negara terhadap rakyatnya meliputi sandang, pangan dan papan. Termasuk didalamnya adalah memastikan setiap laki-laki dijamin lapangan kerja yang mudah dalam rangka memenuhi tanggung jawab penafkahan bagi keluarganya.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan maka negara Islam menerapkan kebijakan pada sektor pertanian diantaranya meningkatkan produktifitas pertanian. Yaitu intensifikasi pertanian yaitu meningkatkan produktifitas dengan lahan yang tersedia. Negara berupaya untuk memproduktifkan lahan dengan menerapkan teknologi yang menunjang budidaya para petani seperti pemberian pupuk secara gratis, pengadaan mesin-mesin pertanian, menyediakan bibit unggul serta hal-hal yang berkaitan dengan sarana prasarana pertanian.