Sodomi Berkedok Agama: Pandangan Islam dan Hukuman bagi Pelakunya
Kasus sodomi yang melibatkan pimpinan pondok pesantren di Tangerang, Sudirman, adalah pelanggaran serius yang mencoreng nama baik agama Islam dan lembaga pendidikan agama.
Kasus ini menunjukkan adanya penyalahgunaan kekuasaan dan kedok agama untuk melakukan tindakan amoral yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai seorang tokoh agama, seharusnya ia menjadi teladan, bukan malah melakukan tindakan yang mengkhianati kepercayaan masyarakat dan mengorbankan santri.
Pandangan Islam terhadap Perilaku Sodomi
Dalam Islam, perbuatan sodomi (liwath) adalah salah satu dosa besar. Al-Qur’an dengan jelas menceritakan kisah kaum Nabi Luth (AS) yang dihancurkan oleh Allah SWT karena mereka melakukan perbuatan homoseksual secara terbuka dan tanpa penyesalan. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kamu?’” (QS. Al-A’raf: 80).
Islam melarang keras segala bentuk penyimpangan seksual, termasuk sodomi, dan menetapkan hukuman berat bagi mereka yang melakukannya. Hal ini bertujuan untuk menjaga moralitas dan kesucian masyarakat serta melindungi fitrah manusia yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Hukuman bagi Pelaku Sodomi dalam Syariat Islam
Hukuman bagi pelaku sodomi dalam syariat Islam sangat tegas dan bervariasi berdasarkan interpretasi dan mazhab tertentu. Berikut beberapa bentuk hukuman yang diterapkan dalam Islam:
1. Hukuman Mati: Beberapa mazhab, seperti mazhab Hanafi dan Syafi’i, sepakat bahwa pelaku sodomi layak dijatuhi hukuman mati, baik pelaku maupun pasangannya. Hukuman ini didasarkan pada prinsip untuk menjaga kesucian dan moralitas masyarakat dari perbuatan yang merusak tatanan sosial dan agama.
2. Rajam (Dilempari Batu Sampai Mati): Beberapa ulama menyatakan bahwa pelaku sodomi yang sudah menikah (muhshan) dapat dijatuhi hukuman rajam, sebagaimana hukuman bagi pezina yang muhshan. Pendekatan ini diambil karena perbuatan sodomi dianggap setara dengan zina dalam pelanggaran moral dan sosial.
3. Cambukan dan Pengasingan: Ada juga pandangan yang menyarankan agar pelaku sodomi dihukum dengan cambukan (seperti hukuman bagi pezina ghairu muhshan) atau diasingkan dari masyarakat. Hukuman ini bertujuan memberikan efek jera serta menjaga masyarakat dari perilaku yang menyimpang.
Penyalahgunaan Kekuasaan dan Berkedok Agama
Kasus ini menjadi lebih serius karena pelakunya adalah seorang tokoh agama yang memiliki kekuasaan dan wewenang di lingkungan pesantren. Penyalahgunaan kekuasaan seperti ini merupakan kemunafikan besar yang sangat dicela dalam Islam. Rasulullah Saw bersabda:
“Di antara tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika diberi amanah, ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketika seseorang yang dipercaya untuk mendidik dan menjaga moral generasi muda justru menyalahgunakan posisi tersebut, hukum syariat dan hukum negara harus ditegakkan untuk memberikan keadilan bagi para korban dan menjaga martabat agama.