Soekarno Anti Ahmadiyah dan Rotary
“Saya tidak tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang Nabi, dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid,” (Ir Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1 hal. 345)
Walaupun pernah menjadi murid, bahkan kemudian juga menantu dari seorang tokoh Islam sekaligus pendiri Sarekat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Soekarno akhirnya lebih dikenal dengan gagasan nasionalismenya ketimbang sebagai penyebar gagasan Islam. Ini bisa dilihat dari persentase perbandingan pidato dan tulisan Soekarno tentang Islam, Nasionalisme dan Marxisme. Islam: 46 kali (10,75%). Nasionalisme: 355 kali (82,94%) dan Marxisme: 27 kali (6,31%).
Setidaknya itulah yang diungkap Muhammad Ridwan Lubis dalam disertasi berjudul “Pemikiran Sukarno tentang Islam dan Unsur-Unsur Pembaruannya” yang berhasil dipertahankan pada ujian promosi pada 14 Juli 1987 di Fakultas Pasca Sarjana IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Disertasi Lubis itu kemudian diterbitkan pertama kali oleh CV Haji Masagung pada 1992.
Belakangan, Soekarno bahkan terkenal dengan gagasan penyatuan trio ideologi yang dikenal sebagai Nasionalisme, Agama dan Komunisme (Nasakom). Gagasan ini gagal dan terkubur setelah terjadi peristiwa G 30 S/PKI pada 1965 lalu.
Meski Soekarno dikenal sebagai seorang nasionalis dan sekuler, tetapi ia juga memiliki sisi-sisi religius. Bukan hanya ia pernah berhaji ke Mekkah, namun Islam sebagai agama yang dianutnya dijadikan spirit perjuangan mengusir kolonialisme dari bumi pertiwi. Meskipun harus diakui modernisme Islam ala Soekarno tak terlalu menonjol dibandingkan dengan warna nasionalisme dan Marxisme dalam telaah yang tercermin dalam pidato-pidatonya.
Menurut Ridwan Lubis, Soekarno memiliki pandangan bahwa Islam memiliki tiga karakter yang keberadaannya tidak ada dalam agama-agama lainnya. Pertama, tidak ada agama selain Islam yang sangat menekankan persamaan derajat. Semua ajaran Islam baik akidah, ibadah maupun akhlak didasarkan kepada prinsip kesetaraan.
Kedua, ajaran Islam itu rasional dan simplicity. Karakter rasionalitas akan kelihatan ketika seorang akan mengkaji Islam yaitu dengan dorongan Islam kepada semua umatnya untuk menggunakan akal baik ketika dalam proses penerimaan terhadap kepercayaan yang disebut tauhid maupun dalam pengkajian terhadap berbagai aspek filosofis dari semua hukum-hukum Islam. Ketiga, Islam adalah kemajuan. Dalam pemahaman Sukarno semua ajaran Islam mendorong semua umatnya untuk memiliki wawasan yang optimis ke depan sekalipun di sana sini terdapat berbagai hambatan.
“Soekarno menggunakan Islam sebagai kerangka berpikir untuk mengantarkan konstruksi perpolitikan di Indonesia khususnya yang terkait dengan hubungan agama dengan negara,” kata Ridwan dalam diskusi bedah bukunya “Soekarno dan Modernisme Islam”, di Jakarta, 1 November 2012 lalu. Buku ini merupakan judul baru atas karya disertasi Ridwan Lubis di atas.
Menurut Ridwan, Soekarno pada mulanya kagum dengan pemikiran HOS Tjokroaminoto, namun tawaran Sarekat Islam yang berada di bawah pimpinan Tjokroaminoto tentang negara berdasar agama adalah suatu pemikiran politik kebangsaan yang dianggapnya sudah usang.
Anti Ahmadiyah dan Rotary
Akan tetapi, jauh sebelum Soekarno menjadi Presiden RI, saat ia dibuang oleh penjajah Belanda ke Endeh, Nusa Tenggara Timur, Soekarno pernah menegaskan pendiriannya terhadap aliran sesat Ahmadiyah. Aliran inilah yang hingga ini terus dipersoalkan oleh umat Islam, karena menistakan Islam dan Nabi Muhammad Saw.