Stok Beras Melimpah, Mengapa Rakyat Tetap Susah?

Dalam naungan Islam, negara tidak akan membiarkan pengelolaan pangan tunduk pada mekanisme pasar kapitalistik yang menumbuhsuburkan oligopoli. Oleh karena itu, negara akan menata jalur distribusi beras mulai dari hulu hingga hilir. Penataan ini dimulai dari mendukung proses produksi petani, memperbaiki sistem penggilingan, dan menyalurkan beras dengan pengawasan ketat.
Di sisi lain, praktik haram yang merusak distribusi pangan seperti penimbunan, monopoli, atau oligopoli niscaya diberantas dengan tegas. Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda, “Tidaklah menimbun, kecuali orang yang berdosa.” (HR Muslim). Dengan demikian, harga beras tidak akan dikendalikan oleh segelintir pedagang besar, tetapi justru dijaga agar tetap stabil sehingga dapat terjangkau oleh rakyat.
Islam juga memiliki memiliki mekanisme dalam memberikan bantuan langsung seperti bantuan beras gratis bagi masyarakat miskin. Bantuan ini diberikan melalui Baitulmal. Anggarannya pun senantiasa tersedia baik dari pos zakat, kharaj, maupun fai. Sehingga rakyat miskin tidak diarahkan untuk membeli beras murah dengan kualitas rendah. Sebab, kebutuhan pangan yang terjangkau dan berkualitas telah dijamin oleh negara.
Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bagaimana kisah Khalifah Umar bin Khattab Ra turun langsung untuk mengurus distribusi pangan saat musim paceklik. Beliau tidak hanya menyiapkan logistik di Baitulmal, tetapi juga memastikan distribusi makanan sampai kepada setiap keluarga. Bahkan beliau pun tidak makan daging dan minyak hingga rakyatnya kembali sejahtera.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, distribusi dan keadilan ekonomi berjalan begitu baik hingga hampir tidak ada rakyat miskin yang layak menerima zakat karena kebutuhan dasar sudah tercukupi dengan baik.
Inilah bukti nyata bagaimana Islam menjadikan pemimpin sebagai penanggung jawab penuh urusan pangan rakyat. Alhasil, swasembada beras dalam naungan sistem Islam bukan sekadar stok beras aman di gudang, melainkan terwujud dari harga yang terjangkau, distribusi yang adil, dan jaminan pasti bagi rakyat miskin. Sungguh kontras dengan paradigma kapitalisme yang menempatkan negara sebagai regulator yang membiarkan derita rakyat terus berlanjut. Wallahu’alam bissawab.
Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan
‎
‎
‎
‎
‎
‎
‎
‎