SUARA PEMBACA

Sudahlah Agnostik, Kecanduan Narkotik Pula

Coki Pardede adalah komedian yang sudah tak asing lagi bagi publik, sosok yang pernah menorehkan luka pada hati kaum muslimin dengan video memasak daging babi bersama kurma dan madu. Sampai beberapa waktu terakhir pun, masih sering secara vokal membahas isu-isu sensitif dan menjadikannya sebagai bahan candaan.

Seperti diketahui, namanya kini kembali mencuat dan menjadi bahan perbincangan. Bukan lagi atas kasus penistaan agama, melainkan penyalahgunaan narkoba jenis sabu. Sebagaimana dilansir oleh Detikhot (4/9/2021), Coki ditangkap di kediamannya pada Rabu, 1 September 2021, dengan barang bukti berupa sabu seberat 0,5 gram. Hasil tes urin juga menunjukkan positif amfetamin dan metamfetamin (Okezone.com, 4/9/2021).

Selain soal narkoba, tengah ramai juga berbagai tajuk berita terkait paham agnostik yang dianut Coki. Hal ini diketahui dari pernyataannya dalam kanal Youtube milik Denny Sumargo. Coki menilai bukti empiris akan keberadaan Tuhan belum cukup meyakinkannya (Indozone.id, 4/9/2021). Bukankah menggelitik ketika menjadi agnostik namun mencandu narkotik? Berlepas diri dari agama tapi terjerat pada barang yang merusak akal dan raga.

Dari kasus Coki ini, setidaknya ada tiga faktor pendukung yang bisa kita soroti.

Pertama, paham liberal yang begitu dijunjung tinggi dan diagungkan dalam sistem demokrasi. Manusia diberikan kebebasan dalam berbicara, berpakaian, berperilaku, kepemilikan, beragama, dan lainnya. Pengadopsian paham ini akan melahirkan individu-individu liberal penghamba kebebasan.

Setiap perkataan maupun perbuatannya pun dianggap sebagai Hak Asasi Manusia dan tidak jelas batas-batasnya. Maka tak heran bila banyak sekali kasus penistaan agama, yang salah satunya juga dilakukan oleh Coki Pardede. Inilah output dari paham liberalisme yang kian dikukuhkan hari demi hari.

Pilihan Coki untuk menjadi agnostik pun merupakan bagian dari hasil paham liberalisme ini. Manusia bebas menjadi agnostik maupun ateis, atau bahkan murtad sekalipun, yang jelas negara penganut liberalisme tidak akan mengambil peran dalam memastikan akidah rakyatnya. Tidak lain adalah sebab dijaminnya kebebasan sebagaimana telah disebutkan.

Kedua, penerapan sitem sekuler-kapitalis menjadikan makna kebahagiaan manusia menjadi kabur. Agama dipisahkan dari pengaturan negara, kemudian berimbas pada tidak didapatinya ketenangan dalam hidup. Materi yang hari ini dianggap sebagai sumber kebahagiaan dalam pandangan kapitalisme, nyatanya tak kunjung menghadirkan ketenangan dan ketentraman.

Terbukti dari banyaknya artis lain yang juga terjerembab dalam jurang yang sama, yakni narkoba. Semua menjadi serba sulit dengan segala problematika yang mencekik, lantas berujung pada sebuah pelarian menuju penyalahgunaan narkoba. Wajar saja, sebab aturan Sang Khaliq telah dicampakkan. Tidak menampik pula, jika hari ini kita tengah berjalan pada jurang kehancuran.

Ketiga, absennya negara dalam penerapan syariat Islam dan menunjukkan kebenaran serta kemuliaan Islam pada dunia.

Dengan runtuhnya kekhilafahan Islam Turki Utsmani pada 1924, maka berakhirlah kekuasaan kaum muslimin di muka bumi. Menandai pula berakhirnya penerapan syari’at Islam secara komprehensif, yang dengannya kebenaran Islam nampak terang-benderang dan mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.

Hukum-hukum Allah ï·» yang diterapkan, akan menjadi hujjah tak terbantahkan bagi nonmuslim atas kesempurnaan dan kemuliaan Islam. Mendorong pada kesadaran utuh bahwa Islam adalah anugerah terbesar yang Allah ï·» karuniakan kepada umat manusia seluruhnya.

1 2Laman berikutnya
Back to top button