Syariah Lindungi Minoritas
Faktanya, ketika minoritas non-Muslim hidup di wilayah Islam mereka terlindungi dan bebas menjalankan agamanya. Sebaliknya, ketika umat Islam yang minoritas jika tidak dimurtadkan atau diusir, mereka pasti dibantai.
Syariat Islam diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah Saw sebagai rahmat bagi seluruh alam termasuk di dalamnya umat manusia, apapun warna kulit, agama ras, dan segala latar belakang mereka. “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya [21]: 107). Menurut syariat Islam, warga negara yang mendiami wilayah yang didalamnya diterapkan syariat Islam secara sempurna dibagi menjadi dua, yaitu Muslim dan non-Muslim. Warga negara non-Muslim disebut sebagai dzimmi (Ahlu Dzimmah), yang berarti orang yang berada dalam perlindungan.
Ada dua katagori ahlu dzimmah. Pertama adalah Ahli Kitab, dan katagori kedua adalah umat-umat agama lainnya. Menurut Imam Al Mawardi dalam kitab Al Ahkam As Sulthaniyah, yang termasuk dalam kategori Ahli Kitab, yakni orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Syariat menyatakan bahwa umat Islam diperbolehkan memakan binatang-binatang sembelihan mereka, dan para lelaki Muslim diperbolehkan menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab. Sementara umat agama lainnya, seperti Majusi, ash-Shabiah, dan orang kafir lain (penyembah berhala, Hindu, Budha, Kong Huchu, dll), memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Ahli Kitab, namun binatang sembelihan mereka tidak boleh dimakan oleh umat Islam, dan perempuan-perempuan mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki Muslim.
Kedudukan Ahlu Dzimmah
Syariat Islam menempatkan semua orang yang tinggal di Negara Islam sebagai warganegara dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi jiwa, keyakinan, kebebasan beribadah, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.
Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya: “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad)
Imam Qarafi ketika menyinggung masalah tanggung jawab negara terhadap ahlu dzimmah, beliau mengatakan, “Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahlu dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga, sekalipun kaum Muslim memang memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat Islam juga harus memberikan masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang bermaksud menyakiti mereka, mencuri dari mereka, atau merampas hak-hak mereka.”
Hubungan antara Negara Islam dengan ahlu dzimmah diatur dalam perjanjian yang disebut dengan ‘aqd adz-dzimmah. Orang-orang non-Muslim dijamin untuk tetap dalam agama mereka, dengan syarat cukup membayar jizyah dan terikat dengan hukum yang berlaku. Akad tersebut merupakan akad selama hidup, yang menjamin non-Muslim mendapatkan keamanan, perlindungan dan kehormatan. Dengan akad tersebut mereka menjadi warga Negara Islam.
Jaminan Kebebasan Beragama
Islam menjamin hak-hak ahlu dzimmah, dan memberikan keistimewaan kepada mereka, termasuk jaminan kebebasan beragama. Mereka dijamin untuk tetap memeluk agamanya, dan tidak boleh dipaksa masuk Islam. Allah SWT berfirman: “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam.” (QS. al-Baqarah [02]: 256).
Kebijakan ini juga tampak dengan jelas dalam surat Rasulullah Saw kepada Ahli Kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani Yaman yang diserukan untuk memeluk Islam: “Siapa saja orang Yahudi atau Nasrani yang telah memeluk Islam, maka dia merupakan orang Mukmin. Dia berhak mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan orang Mukmin. Dan siapa saja yang tetap dengan ke-Yahudian atau ke-Nasraniannya, maka dia tidak boleh dihasut untuk meninggalkannya.” (Lihat, Abu ‘Ubaid, al-Amwal, hal. 28; Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah, Juz II/588)
Karena itu, mereka diberikan kebebasan untuk memeluk agamanya; beribadah dengan tatacara agamanya; makan dan minum sesuai dengan ketentuan agamanya; kawin dan cerai mengikuti agamanya. Mereka diperbolehkan untuk makan babi dan minum khamer, serta mengenakan pakaian sesuai dengan ketentuan agamanya. Semuanya ini merupakan keistimewaan yang diberikan oleh Islam kepada mereka.
Sementara untuk pendirian tempat-tempat ibadah, seperti Gereja dan Sinagog, persoalan ini dikembalikan pada status wilayah tersebut. Menurut Abu ‘Ubaid dan Ibnul Qayyim seperti dikutip Dr. Kamal Sa’id Habib dalam bukunya, al-Aqalliyat wa as-Siyasah fi al-Khubratil al-Islamiyah, jika daerah tersebut merupakan daerah hasil penaklukan maka diperbolehkan orang-orang non-Muslim untuk merenovasi dan membangun tempat ibadah mereka setelah mendapat persetujuan dari Imam (kepala negara). Sedangkan daerah-daerah yang sejak semula ditempati oleh umat Islam, maka tidak diperbolehkan berdiri tempat-tempat beribadah orang-orang non-Muslim.