SILATURAHIM

Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Mufti Aceh Penentang Tasawuf Wujudiyyah

Syekh Nuruddin Ar-Raniry, nama lengkapnya Syekh Nuruddin Muhammad ibnu ‘Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid Ar-Raniry al-Quraisyi. Ia dilahirkan pada abad ke-16 masehi di daerah Ranir (Rander) yang merupakan kota pelabuhan tua di pantai Gujarat (India), dan wafat pada 22 Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India.

Nama panggilannya Ar-Raniry sesuai tempatnya dilahirkan. Ia menganut Ahlusunnah wal jamaaah dan dalam ilmu fiqh bermazhab Syafi’iyah.

Ar-Raniry merupakan ulama penasihat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II).

Pendidikan Ar-Raniry dimulai di tanah kelahirannya yaitu Ranir, kemudian melanjutkan ke Hadramaut dan Tarim. Pada 1030 H (1582 M) ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji serta melakukan ziarah ke makam Rasulullah Saew di Madinah.

Di Hadramaut, Ar-Raniry berguru kepada Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syayban al-Tarimi al- Hadhrami, biasa dipanggil Sayyid Umar Allaydrus. Seorang ulama Ahlussunnah dan pengikut mazhab Syafi’i.

Kemudian ia juga berguru kepada Abu Nafs Sayyid Imam bin Abdullah bin Syaiban yaitu merupakan tokoh dari Tarekat Rifa’iyah, yang juga keturunan Hadramaut. Puncaknya, Ar-Raniry juga diangkat sebagai khalifah Tarekat Aydarusiyah serta Rifa’iyah.

Pada 6 Muharam 1047 H (31 Mei 1637 M), Syekh Nurudin Ar Raniry tiba di Nanggroe Aceh Darussalam, mengikuti jejak pamannya yakni Syekh Muhammad Jaylani bin Hasan Muhammad Hamid Al-Raniry yang terlebih dulu tiba pada 1588 M.

Syekh Nuruddin Al-Raniry datang ke Aceh dua kali. Pada kedatangan pertama ia tidak lama tinggal di Aceh dikarenakan buruknya penerimaan terhadapnya. Sebab saat itu aliran Wujudiyah masih mendominasi masyarakat.

Ar-Raniry datang kembali pada 1637 M, bertepatan wafatnya Sultan Iskandar Muda. Lalu digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani. Pada masa inilah Syekh Ar-Raniry diangkat menjadi Mufti Kesutanan Aceh Darussalam.

Peran Syekh Ar-Raniry di Aceh

Nurudin Ar Raniry melakukan pembaruan setelah mendapat kepercayaan dari Sultan Iskandar Tsani yang pada saat itu memerintah. Sebagai Mufti, ia mendapatkan kesempatan baik untuk menentang ajaran Wujudiyyah Hamzah Fansuri yang saat itu banyak diikuti masyarakat Aceh.

Nuruddin Ar-Raniry tinggal di Aceh selama tujuh tahun sebagai ulama, penulis, serta penentang ajaran Wujudiyyah. Setelah Sultan Iskandar Tsani wafat dan digantikan oleh permaisurinya yaitu Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah binti Sultan Meukuta Alam Iskandar Muda, yang memerintah Aceh sekitar 34 tahun lamanya, Nuruddin Ar Raniry menulis buku khusus untuk menganalisa ajaran Wujudiyyah Hamzah Fansury dan muridnya, Syamsuddin as-Sumatrani, berjudul Tibyan fi Ma’rifah al-Dyan.

Nuruddin Ar-Raniry berperan penting dalam memipin ulama Aceh dan menghancurkan ajaran tasawuf falsafi oleh Hamzah Fansuri. Ia merupakan tokoh ulama sufi anti ajaran Wujudiyyah. Karena ajaran tersebut dapat dikhawatirkan akan memicu kerusakan akidah umat Islam awam yang pada saat itu baru dipeluk masyarakat.

Ia juga mengemukakan fatwa pengkafiran aliran Wujudiyyah pada saat aktifitas berkhutbahnya dan tertulis juga pada buku- bukunya yaitu Tibyan fi Ma’rifah al-Dyan, Hill Al-Zill, Jawahir Al-Ulum fi Kasyf Al-Ma’lum, Ma’al- Hayah li Ahl Al –Mamat, Hujjat al-Shiddiq li Daf’il al- Zindiq dan lain sebagainya.

Selain membasmi ajaran Wujudiyyah, peran dan konstribusi Nurudin Ar-Raniry dalam kemajuan peradaban Aceh ialah menetapkan hukum Islam di Aceh. Boleh dikata, Nurudin Ar Raniry adalah salah satu pelopor tegaknya syariat Islam di Aceh.

Arri Fadli Gunawan
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Artikel Terkait

Back to top button