NUIM HIDAYAT

Syekh Yusuf Al-Makassari, Ulama dan Mujahid dari Sulawesi

Sejak usianya belum menyentuh 10 tahun, Yusuf Al-Makassari sudah melahap berbagai pelajaran agama Islam. Dalam buku “Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang”, karya Abu Hamid disebutkan bahwa ia mulai belajar mengaji kepada seorang guru setempat di kawasan kerajaan Goa.

Putra Raja ke-14 Gowa, Sultan Alauddin itu belajar bahasa Arab, fikih, tasawuf, dan logika berfikir dari dai asal Arab Saudi yang menetap di Bontoala, Sayid Ba’lawy bin Abdullah al Allamah Thahir.

Pada usia 15 tahun, Yusuf berguru kepada Syekh Jalaluddin al Aidit, ulama terkenal dari Aceh yang menetap di Cikoang, kini daerah di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.Selama beberapa tahun Yusuf belajar di sana. Keinginannya yang besar untuk belajar ini, menjadikan dirinya ingin melanjutkan belajar ke luar negeri.

Syekh Yusuf kemudian pada tahun 1644 menginjakkan kaki di Banten. Menurut Guru Besar UIN Jakarta, Azyumardi Azra, kehadiran Yusuf ke Banten diterima kalangan kerajaan dan masyarakat, karena pengetahuannya yang luas tentang Islam. Raja Banten saat itu, Abu al Mafakhir, tertarik mempelajari Islam dan kerap bertanya kepada ulama terkenal seperti Syekh Nuruddin ar Raniri dari Aceh serta ulama lain dari Mekkah dan Medinah. Seperti sang Raja, Yusuf juga gemar mempelajari tasawuf dari Syekh Nuruddin ar Raniri.

Selama di Banten, Yusuf berkawan baik dengan Pangeran Surya juga dijuluki sebagai Sultan Ageng Tirtayasa. Yusuf juga sering mengajarkan Islam kepada masyarakat Banten. Suatu ketika, Yusuf memutuskan pergi ke Aceh untuk belajar langsung kepada ar Raniri, yang menjadi penasihat Raja di Aceh. Setiba di sana, Yusuf tak bertemu dengan ar Raniri. “Yusuf lalu mengikuti jejak ar Raniri ke India,”kata Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah. (Lihat buku “Wali Nusantara Jejak Perjalanan Syiar”, Tempo, KPG 2020).

Baca juga:

Syekh Yusuf juga mengunjungi beberapa negara yang menjadi pusat ajaran Islam, misalnya Yaman, Mekkah dan Medinah dan Damaskus di Suriah. Ia juga sempat mengajar di Masjidil Haram pada usia 38 tahun. Murid-muridnya berasal dari berbagai negara, termasuk pendatang dari Nusantara dan orang dari Pulau Jawa yang sedang beribadah haji. Syekh Yusuf belajar di Timur Tengah sekitar 20-28 tahun.

Dari Timur Tengah, Syekh Yusuf kemudian kembali ke Banten. Meski demikian, ia mengirimkan muridnya ke Makassar untuk berdakwah di sana. Keakraban dengan Sultan Ageng Tirtayasa pun makin erat. Bahkan Sultan Ageng menikahkan putrinya dengan sahabatnya tersebut. Syekh Yusuf mempunyai murid 400 orang dari Makassar. Selain mengajar kepada masyarakat dan murid-muridnya di Banten, Syekh Yusuf bersama Sultan Ageng juga aktif melawan penjajahan Belanda.

Pada 1680, Kerajaan Banten mulai pecah karena perebutan kekuasaan. Azyumardi menulis bahwa saudara Sultan Ageng, Sultan Haji memecat pendukung putra mahkota dan meminta dukungan kepada Belanda. Sebagai balasannya, Sultan Haji akan memberikan keuntungan perdagngan yang didapat dari kongsi dagang Belanda (VOC).

Pada 1682, perang kedua kubu dimulai. Satu tahun kemudian, pasukan Belanda dan Sultan Haji menangkap Sultan Ageng dan membuangnya ke Batavia. Namun, Syekh Yusuf dapat mengambil alih sekitar 5000 prajurit yang berasal dari Banten dan Makassar. Belanda kemudian menjebak Yusuf dengan menyandera putrinya. Syekh Yusuf ditangkap saat ‘menyerahkan diri’.

Belanda lalu mengasingkan Syekh Yusuf ke Sri Lanka. Di sana, Yusuf tetap menyebarkan Islam. Ia kemudian dipindahkan ke Cape Town, Afrika Selatan, karena Belanda tak mau pengaruhnya membesar di Sri Lanka. Ia dan rombongan tiba di Cape Town pada 1694 dan diberi tempat di tanah milik gereja tua Belanda yang dipimpin Pendeta Petrus Kladen. Belanda berharap Syekh Yusuf berpindah agama.

Yusuf tetap kokoh dengan Islamnya dan terus berdakwah di sana. Ia pun kemudian dipanggil Imam. Banyak orang mengucap syahadat setelah menerima dakwahnya. Islam berkembang luas di Afrika Selatan. Pada 22 Mei 1699, Syekh Yusuf meninggal dunia.

Ada dua versi tentang makam Syekh Yusuf ini. Menurut Profesor Paturunggi Ketua Umum Ikatan Keluarga Besar Syekh Yusuf al Makassari, makamnya berada di Makassar. Penuturan Paturunggi, Raja Gowa saat itu meminta jenazah Syekh Yusuf untuk dikembalikan, tetapi baru pada 1705 permintaan itu bisa dilaksanakan. “Dimakamkan di samping istrinya, Sitti Daeng Nisanga,” tuturnya. Sementara itu, Azyumardi Azra mengatakan bahwa makam asli Syekh Yusuf yang berisi jenazah masih berada di Cape Town.

Syekh Yusuf, yang lahir pada 3 Juli 1626, dimakamkan di suatu daerah pinggiran Cape Towm bernama Macassar. Disitu terbangun kramat, semacam kuil untuk menghormati tokoh Islam ini. Presiden Nelson Mandela, menyebut Syekh Yusuf sebagai ‘salah seorang putra Afrika terbaik’.

Azyumardi juga menuturkan bahwa Syekh Yusuf nama aslinya Muhammad Yusuf bin Abdullah Abu al Mahasin al Taj al Khalwati al Makassari. Ia dianggap memiliki karamah semasa hidupnya. Ia sering, misalnya ada orang sakit, minta air untuk didoakan. Setelah minum air itu, orang itu sembuh dari sakitnya. Bahkan, sirih bekas kunyahan Syekh Yusuf pun ada yang mengambilnya, yakni untuk disimpan sebagai barang keramat.

Tapi tentu saja, yang berpengaruh besar kepada masyarakat adalah ilmunya. Dakwah Syekh Yusuf berpengaruh besar kepada masyarakat Makassar, Banten, Afrika Selatan dan lain-lain. []

Nuim Hidayat, Anggota MIUMI dan MUI Kota Depok.

Artikel Terkait

Back to top button