AL-QUR'AN & HADITS

Tafsir Surat Al-Anbiya: Tentang Dekatnya Penghisaban Kaum Kafir Quraisy

Surat Al-Anbiya’ adalah kategori surah yang diturunkan di Makkah dan terdiri 112 ayat. Perlu diketahui bahwasanya surah Al-Anbiya ini merupakan surah yang turun dalam periode Makkiyah. Maka dari itu, ketika kita memahami surah ini, maka penting untuk menghadirkan kembali suatu situasi Makkah yang dihadapi oleh Nabi Saw terhadap kaum Quraisy yang begitu menentang dan ingkar akan dakwah dan ajakan ajaran Nabi Muhammad Saw.

Dalam kitab Tafsir Jalalain di awal-awal ayat surah Al-Anbiya dikatakan bahwasanya proses penghisaban amal-amal di hari kiamat bagi orang-orang (penduduk Makkah yang mengingkari hari kiamat), itu sudah dekat. Kenapa dinyatakan seperti itu (begitu dekat)?

Salah satu jawabannya adalah untuk sebagai peringatan. Karena mereka sudah mengingkari akan adanya hari kiamat. Akan tetapi perlu dipahami, dekat disini artinya bukan berarti tempat, melainkan waktu.

“Bukankah di kehidupan ini, kiamat masih tidak diketahui”. Jadi maksud dari dekat di situ adalah karena setiap yang akan datang itu sebenarnya dekat. yaitu waktunya terus mendekati. Berbeda dengan yang telah lalu, peristiwa yang sudah berlalu itu semakin menjauh. Tapi apa-apa yang dijanjikan oleh Allah SWT pasti datang, dan itu semakin dekat waktunya. Maka logikanya, hari kiamat adalah pasti datang, dan yang pasti datang, waktunya sudah dekat.

Meskipun mereka sudah mendapat peringatan, adalah mereka (kaum Quraisy) masih tetap saja lalai dari akan proses penghisaban mereka di hari kiamat. Dan mereka tidak siap-siap sama sekali, dalam artian mereka masih enggan untuk menuruti perintah dan ajakan Nabi Muhammad Saw. Tidak siap karena memang mereka mengingkari terhadap yang dijanjikan pasti datang itu([kiamat). Berbeda dengan orang yang beriman yang sudah siap-siap, karena percaya dengan akan datangnya hari kiamat.

Bentuk kelalaian mereka adalah sudah tahu proses turunnya ayat Al-Qur’an sebagai bentuk peringatan, tapi mereka malah bermain-main dan semacamnya. Jadi ketika ada suatu peringatan kemudian objek dari peringatan itu tidak siap menyambutnya dengan cara bermain-main, meremehkan, dan mengabaikan, Maka disitulah bentuk kelalaian hati mereka atas makna peringatan itu. Dan juga mereka (orang zalim) sering menyembunyikan pembicaraan dengan samar-samar (ngegosip).

Tidak hanya itu, mereka bahkan memfitnah dan meragukan sosok Nabi Muhammad Saw. Mereka berkata “ini kan manusia sama juga dengan kalian, maka apa yang dibawa oleh dia, itu adalah sihir”. Tapi sebenarnya ucapan mereka itu membantah terhadap dirinya sendirinya. Kenapa? Karena memang mereka tahu kalau itu sebenarnya bukanlah sihir, katakanlah Al-Qur’an.

Jadi ketika mereka itu diminta untuk membuat yang sama dengan apa yang dibawa oleh Nabi, yaitu kitab suci Al-Qur’an, maka kenyataannya mereka tidak mampu. Padahal di antara mereka itu adalah orang-orang yang ahli bahasa, para sastrawan, dan para penyair yang hebat. Bahkan diantara mereka itu ada para penyihir handal, tapi penyihir itu sudah mengakui kalau itu (dibawa Nabi Saw) bukanlah sihir. Maka dari situlah pentingnya meyakini kepada datangnya sang pemberi peringatan. Karena kalau objek dari peringatan itu masih meragukan terhadap yang membawanya, maka konsekuensinya adalah keraguan dan pengingkaran.

Dengan demikian sama halnya juga dengan pewaris Nabi Saw. Yaitu datangnya para ulama, pejuang, guru, dan para Muallim. Maka kalau datangnya mereka itu disambut dengan penuh keyakinan terhadap rahasia makna yang diajarkan, insyaallah para pengikutnya akan mendapatkan keberkahan. Tapi kalau murid meragukan terhadap gurunya atau suudzan, maka yang terjadi sama dengan kaum Quraisy. yaitu pengingkaran dan akan terhalang dari mendapat keberkahan dari ajaran gurunya.

Bukankah para ulama dan guru tidak bisa disamakan dengan Nabi Saw. Betul, tapi yang bisa kita lihatkan bahwa para ulama itu merupakan pelanjut dan menyampaikan apa yang sudah diajarkan oleh Nabi Saw. Maka sepatutnya kita untuk beradab, meskipun guru atau ulama bukan Nabi. Dengan cara apa? Yaitu bisa dengan mendo’akan agar aibnya ditutupi.[]

Thoha Abil Qasim, Santri Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur.

Artikel Terkait

Back to top button