OPINI

Revisi UU KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi

Sah! Revisi UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK akhirnya diketok palu. Lembaga anti rasuah itu bakal memasuki babak baru.

Meski mendapat penentangan dan penolakan dari berbagai lapisan masyarakat, DPR tak pedulikan itu. UU KPK disahkan setelah memakan waktu 13 hari mengajukan draf revisi. Waktu yang sangat singkat di penghujung masa bakti DPR periode 2015-2019. Sontak, hal ini menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa begitu tergesa-gesa mengesahkan UU KPK? Apalagi revisi UU KPK tak masuk dalam pembahasan prolegnas.

Belum diteken dan diberi nomor sebagai lembaran resmi negara, UU KPK sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi. Mengingat, sejak RUU ini digulirkan, masyarakat sudah memprotesnya secara besar-besaran. Sayangnya, aspirasi mereka diabaikan oleh lembaga yg katanya penyambung lidah rakyat itu. Bahkan komitmen Jokowi dalam memberantas korupsi pun mulai diragukan.

Tak butuh waktu lama bagi para aktivis antikorupsi menyikapi Undang-undang KPK baru. Sejumlah pihak, termasuk Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum (Pukat) UGM akan segera melakukan uji materi, atau Judicial Review (JR), atas UU tersebut. “Kami akan melakukan JR Setelah UU KPK baru tersebut diberi nomor dan diundangkan dalam lembaran negara,” ucap peneliti Pukat, Zaenur Rahman.

Dalam JR kali ini, menurut Zaenuri, pihaknya akan melakukan dua uji sekaligus. Yakni, uji materiil dan uji formil. Uji materiil, katanya, akan membahas semua pasal-pasal baru yang dianggap bermasalah dalam perubahan kedua atas Undang-undang No. 30/2002 tersebut. Dalam JR kali ini, menurut Zaenur, pihaknya akan melakukan dua uji sekaligus. Yakni, uji materiil dan uji formil. Uji materiil, katanya, akan membahas semua pasal-pasal baru yang dianggap bermasalah dalam perubahan kedua atas Undang-undang No. 30/2002 tersebut. “Di sana tidak ada naskah akademiknya sejak awal. Tidak masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Termasuk dalam pembahasannya tidak terbuka dan diam-diam,” kata Zaenur, sebagaimana dilansid beritatagar.id, 18/9/2019.

Ada beberapa pasal bermasalah yang menimbulkan kontroversi. Pasal-pasal ini dianggap sebagai upaya melemahkan KPK. Bukan menguatkan sebagaimana yang diklaim oleh pemerintah dan DPR sebagai pengusulnya.

Berikut poin-poin pasal yang menimbulkan kontra:

Pertama, status kelembagaan dan kepegawaian. KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga Independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun; KPK dijadikan lembaga Pemerintah Pusat, Pegawai KPK dimasukan dalam kategori ASN. Hal ini tentu berdampak pada proses pemberantasan korupsi. Independensi KPK akan hilang. Sebagai lembaga pemerintah, maka ia berada dibawah kontrol pemegang kekuasaan tertinggi di eksekutif, yakni Presiden. Status ASN juga akna mempersempi ruang gerak KPK. Sebab, ASN memiliki lembaga atasan di dalam kementerian PAN-RB. Perubahan status pegawai KPK juga akan menjadikan KPK bermental birokrat. Tak lincah dan gesit lagi sebagaimana saat dia menjadi lembaga independen yang terpisah dari eksekutif.

Kedua, Dibentuknya Dewan Pengawas. Kehadiran Dewas dalam UU baru ini menjadi penghalang dalam upaya memberantas korupsi. Pasal 37B nomor 1 poin a dan b UU baru KPK berbunyi, Dewan Pengawas bertugas: a. mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi; b. memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.

Dalam hal ini, wewenang KPK benar-benar terbatas. Bergantung pada perizinan Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan dan penggeledahan. Bukankah salah satu cara mengetahui adanya korupsi adalah melakukan penyadapan? Bagaimana jadinya bila penyadapan memerlukan izin Dewas, sementara dalam pasal UU KPK tidak dijelaskan secara gamblang siapa Dewan Pengawas tersebut. Bahkan Dewan Pengawas dipilih dan diangkat oleh Presiden. Itu berarti sama halnya membuka peluang abuse of power dalam kekuasaan eksekutif.

Ketiga, terkait koordinasi kelembagaan KPK dengan penegak hukum sesuai dengan hukum acara pidana, kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi. Misalnya, KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan perkara korupsi. Masih segar di ingatan bagaimana kasus korupsi juga menjerat lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung, hakim MK hingga hakim pengadilan negeri. Artinya korupsi berpotensi ada di semua kelembagaan, tak terkecuali lembaga hukum.

Masih banyak poin-poin lainnya yang bermasalah dan mengancam kredibilitas KPK sebagai lembaga anti rasuah. Independensinya dimandulkan dengan UU KPK baru. Wewenangnya diawasi dan dibatasi. Bila hal ini terjadi, KPK yang baru tak ubahnya lembaga eksekutif yang bergerak dibawah kendali Presiden. Padahal sejauh ini, kinerja KPK patut diacungi jempol dalam memberantas korupsi. Hanya saja kurang berani dalam mengusut kasus mega korupsi yang melibatkan penguasa seperti RS Sumber Waras, BLBI, Bank Century, korupsi dana haji Kemenag 2011-2013, suap kementerian ESDM, dan lainnya.

Korupsi memang sudah menjadi penyakit endemi. Seperti kanker yang terus menjalar ke organ lainnya. Menular dan membudaya. Demi balik modal, para pejabat itu rela merugikan negara ratusan miliar hingga triliunan. Diperbudak ole kekayaan materi. Terjebak dalam lingkaran setan sekularisasi semua lini kehidupan. Jabatan tak lagi dipandang sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Tak ayal, korupsi begitu rupawan di sistem demokrasi yang mahal.

Lembaga KPK hanyalah salah satu upaya pemberantasan korupsi. ‘Keberingasan’ KPK yang akhir-akhir ini mencokok belasan hingga puluhan kepala daerah serta menteri membuat meriang para tikus berdasi. Demi menghambat geraknya, muncullah UU KPK baru. Jelas sudah, komitmen penguasa memberantas korupsi sampai akarnya hanya isapan jempol belaka.

Inilah akibat bila memakai produk hukum manusia. Gampang direvisi sesuai kehendak hati. Mudah diutak-atik sesuai kepentingan. Sanksinya tak memberi efek jera. Aturan manusia dijadikan pedoman. Aturan Tuhan diabaikan. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa membersihkan penyakit korupsi memang harus dari dasar. Yakni sistem yang menyuburkan praktik korupsi itu terjadi. Sistem demokrasi yang memandulkan peran Tuhan mengatur kehidupan. Masa depan pemberantasan korupsi akan cerah manakala sistemnya mampu menyelesaikan masalah. Ialah sistem Islam yang bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aturannya jelas. Standarnya pasti. Sanksinya tegas.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button