Tak Ada ‘Privilege’ untuk Putra-Putri Amirul Mukminin (2)
Umar pernah membagikan harta kepada publik. Ia mengutamakan di antara mereka berdasarkan kedinian masuk Islam dan nasab. Ia memberikan kepada Usamah bin Zaid 4000 dirham dan Abdullah bin Umar sebanyak 3000 dirham.
Abdullah bin Umar bertanya, “Wahai ayahku, mengapa tadi Anda memberikan kepada Usamah bin Zaid 4000 dirham, sementara Anda memberikan kepada saya hanya 3000 dirham? Apa keutamaan ayahnya yang tidak ada pada Anda, lalu apa keutamaan Usamah yang tidak ada pada saya?”
Umar menjawab, “Ayah Usamah lebih dicintai Rasulullah daripada ayah kamu, dan dia lebih dicintai Rasulullah daripada kamu!!”
Ashim bin Umar bercerita, “Umar pernah mengutus Yarfa’, sahaya Umar, untuk menemui saya. Saya menemui Yarfa’ yang saat itu sedang duduk di masjid. Setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah, ia mengatakan, “Menurut saya, harta ini tidak halal bagi saya sebelum saya bayarkan kepada orang yang berhak. Saya telah membelanjakan untuk Anda selama sebulan. Dan, saya tidak menambahinya sedikitpun. Telah diserahkan kepada saya untuk mengelola kebun Anda yang berada di ‘Aliyah. Sekarang, ambillah hasilnya ini! Kemudian, temuilah salah seorang pedagang dari kaummu! Bila ia membelinya, maka gunakanah hasil penjualannya untuk menafkahi diri dan keluargamu.” Setelah itu, saya pergi dan melakukan apa yang disampaikan Yarfa’.”
Mu’aiqib bercerita, “Suatu ketika, Umar mengutus seseorang untuk memanggil saya. Saat itu, Umar sedang di rumahnya dan mengintrogasi anaknya, Ashim. Umar bertanya, “Apakah Anda tahu apa yang telah dilakukan Ashim ini? Dia pernah ke Irak, lalu ia sampaikan kepada penduduk kalau ia adalah putra Amirul Mukminin. Ia meminta harta dari mereka. Mereka lalu memberi Ashim barang-barang perhiasan berupa bejana, perak, dan pedang.”
“Saya tidak melakukan tindakan semacam itu. Saya hanya menemui beberapa orang dari kaumku, lalu mereka memberikan barang-barang ini kepada saya”, kata ‘Ashim membela diri. Umar berkata, “Hai Mu’aiqib, ambillah barang-barang ini, lalu letakkanlah di Baitul Mal!”
Umar merasa salah bila tetap membiarkan harta itu pada putranya, karena putranya memperolehnya bukan dari hasil keringatnya sendiri. Tetapi karena sang putra adalah putra Umar, sang penguasa kaum Muslimin. Karenanya, Umar menggolongkan harta semacam ini sebagai harta yang di dalamnya terdapat syubhat.
Suatu hari, didatangkan kepada Umar harta berupa uang. Informasi ini sampai ke telinga Hafshah, sang putri. “Wahai Amirul Mukminin, di dalam harta/uang ini terdapat hak para kerabatmu. Allah telah mewasiatkan agar sebagian dari harta ini diberikan kepada kaum kerabat,” kata Hafshah.
Umar menjawab, “Hai putriku, hak kaum kerabatku terdapat dalam hartaku, sedang ini adalah hak kaum muslimin. Kamu telah khianati ayahmu dan kamu nasehati kaum kerabatmu. Pergilah kamu!”
Suatu hari, Umar ditemui saudara iparnya. Ia meminta agar Umar memberinya harta dari Baitul Mal. Umar menghardik iparnya dan berkata, “Anda ingin saya bertemu Allah sebagai raja yang khianat?” Setelah itu, Umar memberi iparnya 10.000 dirham yang ia ambilkan dari hartanya sendiri. []