NUIM HIDAYAT

Umar bin Khattab: Pemimpin yang Ditakuti Setan

“Seandainya ada Nabi lagi, itulah Umar,” kata Rasulullah Saw. Ya Umar ra memang lelaki pemberani. Kalau ia jalan, setan-setan ketakutan dan pada menyingkir. Dalam dirinya menyatu kesalehan, keberanian, kezuhudan, kecerdasan dan kepedulian.

Umar jelas laki-laki yang shaleh. Shalat senantiasa ia lakukan dengan khusyuk. Perintah Rasulullah selalu ia jalankan. Bahkan ada ayat al Quran yang turun membenarkan Umar, ketika terjadi perbedaan pendapat antara Umar dengan Rasulullah.

Keberaniannya sulit dicari bandingannya. Ketika ia masuk Islam, ia berani berdiri di hadapan kaum kafir menyatakan keislamannya. Tokoh-tokoh kafir tidak berani berkelahi dengan Umar. Umar salah satu tokoh yang ‘menyebabkan dakwah Rasulullah berpindah dari sirriyah (sembunyi-sembunyi) menjadi jahriyah (terang-terangan)’.

Ketika menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar, Umar dikenal kezuhudannya. Umar tidak mau istananya berlapis emas, seperti yang biasa dilakukan Raja Romawi dan Persia. Padahal dengan kekayaan negara yang dikelolanya ia mampu untuk membangun istana yang mewah. Seorang raja pernah melihat Umar tidur di bawah pohon dan ia memuji Umar bisa tidur nyenyak seperti itu karena keadilan yang dijalankannya. Ketika Umar memerintah ia melarang keluarganya mengambil harta dari Baitul Mal (Kas Negara).

Sebagaimana Abu Bakar, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Umar adalah pemimpin yang cerdas. Di masanya Mesir, Palestina dan lain-lain ditaklukkan. Al Quran dan Sunnah Rasulullah senantiasa menjadi pedomannya dalam mengambil keputusan-keputusan negara.

Kepeduliannya kepada rakyat yang miskin luar biasa. Ia seringkali keluar malam hari untuk melihat kondisi rakyatnya. Bahkan ia pernah memanggul sendiri sekarung bahan makanan, ketika melihat ada rakyatnya yang dilanda kemiskinan. Ia juga dengan segera menyelesaikan permasalahan ‘seorang wanita yang bersenandung sendiri’ karena ditinggal suaminya pergii berjihad. Saking peduli kepada rakyat dan negaranya, hingga ia pernah mengatakan bahwa kalau ada keledai terpeleset, maka itu tanggungjawabnya.

Inilah kisah masuk Islamnya Umar. Suatu hari Umar terburu-buru keluar dari rumahnya. Raut wajahnya tampak garang dan tangan kanannya menggenggam sebilah pedang. Di tengah jalan dia bertemu dengan Nuaim bin Abdullah dari Bani Zahra. Dia memperhatikan muka Umar yang beringas sehingga meluncur pertanyaan dari mulutnya,”Hendak kemana engkau wahai Umar?”

“Aku mau membunuh Muhammad,”jawab Umar.”Dia telah bertukar agama, mengacaukan aturan Quraisy dan telah memberi malu kepada agama kita dengan memaki-maki tuhan-tuhan Quraisy. Karena itu, aku hendak membunuhnya.”

Mendengar jawaban Umar yang penuh emosi itu, Nuaim berkata,”Bagaimana engkau akan bisa selamat dari Bani Hasyim dan Bani Zahra kalau engkau membunuh Muhammad?”
“Apa maksudmu? Apakah engkau juga sudah meninggalkan agama kita dan memeluk agama Muhammad/” kata Umar lagi.

“Umar,”jawab Nuaim,”Maukah engkau kutunjukkan hal yang aneh? Ipar dan anak pamanmu, Said bin Zaid bin Amr, dan adikmu, Fatimah binti Khattab, sendiri sudah meninggalkan agama nenek moyang kita. Kurasa lebih baik jika engkau dapat mengurus saudaramu sendiri, wahai Umar.”

Setelah mendengar ucapan Nuaim, darah Umar bagai mendidih. Dia bergegas pergi ke tempat saudara perempuannya. Begitu sampai, Umar mendengar seperti ada suara orang mengaji. Di tempat adiknya itu memang ada Khabab bin Art yang sedang mengajarkan mengaji kepada Fatimah dan suaminya. Mengetahui Umar yang datang, Khabab bersembunyi. Umar langsung menemui Fatimah dan suaminya.

“Suara-suara bergumam apa yang kudengar tadi?” tanya Umar.
“Cuma bicara-bicara saja,”jawab Fatimah.
“Rupa-rupanya engkau sudah meninggalkan agama nenek moyangmu?”tanya Umar lagi.
Iparnya berkata,”Kebenaran itu bukan yang selama ini menjadi peganganmu, hai Umar.”

Ketika itu Umar sudah tidak dapat menahan diri lagi. Dia merenggut leher baju Said dan menghantamnya keras-keras. Fatimah datang bergegas menghalangi Umar yang akan memukul kembali suaminya. Melihat sikap Fatimah, Umar makin marah. Dia menampar wajah adiknya sampai biru lebam dan meneteskan darah. Dalam keadaan yang buruk ini, Fatimah berkata,”Memang kebenaran itu bukan yang selama ini menjadii peganganmu. Benar, kami telah memeluk Islam dan kami telah menyatakan keimanan kami kepada Allah dan RasuNya. Sekarang lakukanlah yang engkau inginkan, Islam tidak akan pernah pudar dari hati kami.”

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button