SUARA PEMBACA

Tak Hanya Anti Narkotika, Indonesia Juga Harus Anti Liberalisme

Pemerintah Thailand baru saja meresmikan kebijakan pelegalan ganja di negerinya pada Kamis (9/06/2022) lalu. Pelegalan ganja ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan ganja dalam bidang kesehatan. Kebijakan Thailand ini pun kemudian mendorong sebagian orang untuk mewacanakan pelegalan ganja di Indonesia.

Tidak dipungkiri ganja memang mulai dilirik dan dilegalkan di beberapa negara, hal ini dikarnakan rekomendasi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menghapus ganja dari kategori obat paling berbahaya di dunia dan bisa digunakan untuk keperluan medis. Keputusan ini mendorong beberapa negara melegalkan demi keperluan medis dan mempertimbangkan penggunaan untuk rekreasi.

Ganja sendiri memiliki kandungan zat Tentrahidrokanibinol (THC) yang diklaim dapat memberikan manfaat bagi tubuh antara lain menghilangkan rasa sakit, mengurangi kecemasan dan depresi, meringankan gejala kanker dan bermanfaat bagi kesehatan jantung.

Akan tetapi dikutip dari cnbcindonesia.com, usai sepekan pelegalan ganja di Thailand kebijakan tersebut telah memakan korban. Dikabarkan setidaknya satu orang tewas akibat overdosis rokok ganja. Selain itu terdapat remaja berusia 17 tahun dan 25 tahun yang mengalami palpitasi setelah mengkonsumsi ganja. Kini pemeritah Thailand justru kembali menerbitkan aturan penggunaan rokok ganja di tempat umum. Pemerintah Thailand mengalami kekhawatiran terdapat potensi penggunaan zat tersebut yang tidak terkendali yang akan menimbulkan korban.

Sementara itu di Indonesia, ganja masih dianggap sebagai obat-obatan terlarang atau jenis narkotika meski banyak pihak yang mewacanakan pelegalannya untuk kebutuhan medis. Dikutip dari idntimes.com, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Komjen Pol. Petrus Reinhard Golose menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada wacana membahas legalisasi ganja untuk kebutuhan medis atau rekreasi di Indonesia, meskipun beberapa negara mulai melegalkan cannabis sativa tersebut. Ia juga memberikan peringatan kepada para turis mancanegara bahwa Bali bukan tempat yang aman atau safe haven untuk menyalahgunakan narkotika.

Sejalan dengan kepala BNN, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menyampaikan dukungannya. Menurutnya, legalisasi ganja di Indonesia bukan langkah yang tepat, mengingat permasalahan terkait psikotropika di tanah air masih sangat kompleks (liputan6.com).

Keputusan para pemangku kebijakan ini sudahlah tepat. Legalisasi ganja di Indonesia tentu akan membawa dampak buruk yang lebih parah. Ganja yang masih dilarang saja, kasusnya per tahun semakin hari semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil survei penyalahgunaan narkoba 2021 yang dilakukan oleh BNN, Badan Pusat Statistik dan Badan Riset dan Inovasi Nasional, pada masa pandemi Covid-19 ada kenaikan prevalensi penyalahgunaan narkoba sebesar 0,15 persen. Walau diklaim memberikan manfaat kesehatan, penggunaan ganja yang berlebihan mengakibatkan penggunanya mengalami halusinasi, kecanduan yang berujung tindakan kriminal, ganguan jiwa, hingga kematian.

Kendati kasus narkotika di tanah air mengkhawatirkan, sejatinya terdapat ancaman yang lebih berbahaya yang sedang mengintai generasi muda. Tidak lain dan tidak bukan ialah ancaman pemahaman liberalisme. Pemahaman dimana kebebasan sangatlah diagung-agungkan. Sewajarnya para pemangku kebijakan yang menolak keras pelegalan ganja juga demikian pada paham liberalisme yang justru menjadi biang kerok atas tindak kriminal yang kian hari menjamur dan beragam motifnya.

Tetapi ibarat pungguk merindukan bulan, negara malah menerapkan dan membiarkan sistem liberal menjadi aturan kehidupan sehari-hari. Dimana landasannya adalah sekuler yang memisahkan agama dari aturan kehidupan. Maka lumrah banyak generasi muda kita bebas berekspresi dan bertingkah laku sesuai keinginan dan menanggalkan aturan agama dari kehidupan.

Dari paham liberal ini kemudian melahirkan perilaku tawuran, bullying, seks bebas, pergaulan bebas, LGBT, narkoba, pembunuhan dan sebagainya. Dari sini tak cukup hanya melarang penggunaan narkotika melalui undang-undang berpangkal dari Barat. Namun juga harus mencabut pemahaman liberal dari akar-akarnya.

Islam telah jelas melarang aktivitas yang dapat merusak kinerja otak salah satunya dengan mengkonsumsi narkotika maupun miras. Selain itu Islam juga menjelaskan bahwa setiap perbuatan manusia terikat dengan hukum syariat tidak ada kebebasan secara mutlak seperti paham liberalisme. Maka kedua hal tersebut harus dilawan dan dilarang keras oleh penguasa negeri ini dan kaum muslimin sebab jelas keduanya dilarang oleh agama.

Islam memberikan tindakan pecegahan agar narkotika maupun paham liberal tidak digunakan oleh generasi muda muslim yakni dengan memberikan pemahaman akidah Islam sejak mereka kecil, kurikulum sekolah pun juga bersinergi menanakan pendidikan Islam sehingga menghasilkan anak-anak muslim yang berkepribadian Islam.

Kemudian Islam akan memberikan proteksi informasi dengan memfilter pemahaman yang bertentangan dengan Islam dan memberikan informasi mengenai bahayanya narkotika maupun paham liberal. Terakhir negara juga akan memberikan sanksi keras kepada pengedar narkoba dan pengemban paham liberal dengan hukuman takzir yang akan ditentukan oleh qadhi (hakim). Upaya pencegahan maupun penindakan tersebut akan meminimalisir tindak kriminal tersebut. Sehingga Indonesia tidak hanya anti narkotika juga anti liberalisme. Waallahu’alam.

AzrIna Fauzah S.Pt., Pegiat Literasi dan Pemerhati Remaja.

Artikel Terkait

Back to top button