SUARA PEMBACA

Tawuran Pelajar Marak, Salah Sistem?

Wajah pendidikan Indonesia kembali tercoreng. Pasalnya beberapa waktu lalu tepatnya pada hari Jumat 20 April 2018 sekitar pukul 10.00 WIB di Kampung Baranangsiang, Kelurahan Sindangkasih, Kecamatan Sindangkasih, Kabupaten Purwakarta telah terjadi pengamanan terhadap 15 orang anak murid sekolah dasar (SD) yang terindikasi hendak melakukan tawuran (Republika.co.id, 20/04/2018). Untungnya sebelum melakukan aksi tawuran, ke 15 pelajar ini terlihat oleh warga dan langsung dilaporkan kepada pihak yang berwajib.

Berdasarkan saksi mata yang telah dimintai keterangan, aksi ini diduga akibat dari pelemparan dari sekelompok anak-anak ke sekolah mereka. Mereka menuding pelemparan itu dilakukan pelajar dari sekolah yang letaknya tak jauh dari sekolah mereka. Mereka didapati membawa sajam alias senjata tajam berupa parang, gir motor bekas, celurit, golok, gesper sabuk serta besi tumpul sebelum sempat melakukan tawuran (pikiran-rakyat.com, 20/04/2018).

Di Bogor, Petugas Shabara Polres Bogor telah mengamankan 26 pelajar yang diduga hendak tawuran (Sindonews.com, 25/04/18). Puluhan pelajar ini juga kedapatan membawa sajam yang kurang lebih sama seperti yang di bawa oleh pelajar di purwakarta. Di Kendal, seperti yang dilansir oleh Liputan6.com terjadi tawuran antar pelajar bersenjata tajam yang telah menewaskan seorang pelajar (20/04/18).

Sebelumnya di akhir tahun 2017, tepatnya akhir November 2017 kpai mencatat bahwa terjadi tawuran ala ‘Gladiator’ di Rumpin. Sejumlah siswa SMP berduel satu lawan satu yang mengakibatkan seorang pelajar (ARS) meregang nyawa (news.idntimes.com, 18/12/18).

Alasan Tawuran

Fakta tawuran antar pelajar di beberapa kota tersebut menambah daftar kenakalan remaja yang sudah sangat memprihatinkan. Hal ini menjadi perhatian semua pihak. Bukan hanya sekolah, tapi juga keluarga, masyarakat, lembaga negara, institusi keamanan hingga pemerintah daerah setempat. Kasus tawuran ini juga menjadi salah satu poin yang dicermati dalam kaleidoskop akhir tahun kpai.

Jikalau kita mendalami alasan mengapa banyak pelajar terlibat tawuran, akan kita dapati bahwa pengkajian terhadap permasalahan yang satu ini tidaklah sederhana. Remaja sekarang mudah tersulut emosinya karena hal sepele. Misalnya karena saling ejek, cinta segitiga, memasuki kawasan satu kelompok tanpa permisi dan dendam masa lalu turunan dari kakak kelas sebelumnya. Dibalik alasan-alasan tersebut tentunya ada kondisi-kondisi yang mempengaruhi mereka.

Setidaknya ada beberapa kondisi yang bisa dikaji dalam masalah ini yaitu kondisi psikologis internal, latar belakang keluarga, pergaulan dan tentu saja sistem pendidikan yang berlaku di negeri ini.

Secara psikis, remaja masih dalam tahapan transisi menuju dewasa. Emosinya cenderung tidak stabil. Ditambah pemahaman agamanya yang kurang sehingga banyak remaja yang mengalihkan emosinya tersebut kepada hal yang negatif, kekerasan sesama remaja alias perkelahian misalnya. Para remaja yang biasa terlibat tawuran tidak mampu menyikapi fakta yang dialami dengan benar, tidak berpikir dahulu sebelum bertindak. Yang ada ketika egosentrisnya terusik, mereka menyikapinya dengan emosi.

Kondisi keluarga yang tidak harmonis (broken home) pun sangat mempengaruhi remaja. Rumah sebagai tempat tercurahnya kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari orangtua tidak mereka rasakan. Pun pendidikan mengenai agama dan adab tidak jua mereka dapatkan. Ke-aku-an mereka tidak diakui dan pendapat mereka tidak pula ditanyakan. Padahal, keluargalah tempat pertama bagi para remaja ini mendapat keteladanan, yaitu dari kedua orangtuanya. Akhirnya banyak remaja yang memilih untuk mencari semua itu di luar rumah.

Manusia itu adalah anak lingkungannya (Rawas Qolahji, 1996). Maksudnya adalah faktor lingkungan tempat tinggal dan pergaulan memiliki peranan besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Remaja yang mudah marah dan sering mengungkapkan ekspresinya dengan kekerasan biasanya sering terpapar hal yang sama di lingkungannya, baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan pergaulannya. Apalagi remaja adalah saat dimana rasa ingin tahu, ego ingin diakui oleh lingkungan begitu tinggi. Tentu faktor ini banyak mempengaruhi kepribadian remaja.

Selain kondisi yang telah dipaparkan sebelumnya, faktor sistem pendidikan juga tak kalah pentingnya. Pasalnya pendidikan memiliki tujuan luhur yaitu membentuk kepribadian anak bangsa. Hanya saja kita melihat fakta bahwa tujuan sistem pendidikan kita saat ini menyimpang dari tujuan awal sehingga output yang dihasilkan juga tidak tercapai.

Dunia tidak bisa menutup mata bahwa sistem pendidikan yang diterapkan kini mengakibatkan dekadensi moral yang amat parah. Generasi terdidik tidak lapas dari permasalahan seputar kekerasan antar pelajar, narkoba, pergaulan bebas, miras, bullying, kasus HIV/AIDS, pembunuhan, bahkan bunuh diri (kompasiana, 24/08/14).

Salah Sistem

Banyaknya kasus kenakalan remaja termasuk didalamnya tawuran tidak lain berakar dari diterapkannya sistem pendidikan yang sekuleristik, yaitu meniadakan peran agama dari kehidupan. Paham sekulerismelah yang menjadi pondasi dasarnya. Akibat dari sistem sekuler ini, kemajuan ilmu tidak diiringi dengan kemuliaan akhlak dan ketinggian martabat manusia.

Bukanlah generasi berakhlak mulia yang dihasilkan sistem ini, tetapi generasi yang memiliki krisis moral teramat parah. Bagaimana bisa menghasilkan output terbaik yang seimbang dunia akhirat bila sedari awal meniadakan ataupun mengebiri sisi agama. Padahal, agamalah yang menjadi penuntun, pedoman hidup dalam seseorang bersikap dan mengambil keputusan dalam kehidupan.

Inilah potret buram pendidikan saat ini. Alih-alih menghasilkan manusia yang beradab dan bermartabat, yang ada adalah manusia yang cacat kepribadian (split personality).

Islam Membentuk Manusia Mulia

Pendidikan berperan strategis dalam memajukan suatu bangsa. Sejarah telah mengabadikan bagaimana Islam dengan sistem pendidikannya mampu membentuk kepribadian manusia secara utuh. Tidak hanya maju dalam berpikir, tapi juga beradab, berakhlak mulia dan bertakwa. Hal ini dikarenakan sistem Islam menjadikan aqidah Islam, keimanan kepada Allah SWT sebagai asas yang mendasarinya. Yang luar biasa adalah sistem pendidikan Islam mampu menyinari dunia dengan cahaya kemajuannya.

Daulah Khilafah Islamiyyah sangat memperhatikan masalah pendidikan warganya. Daulah akan memberikan pendidikan secara cuma-cuma serta membangun setiap sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Maka kita mengenal beberapa kota dalam daulah yang menjadi pusat pendidikan seperti Baghdad dan Cordoba. Disana dibangun banyak sekolah-sekolah, universitas dan perpustakaan-perpustakaan dengan koleksi kitab terlengkap di zamannya.

Daulah akan memastikan setiap warga negaranya, baik muslim maupun non muslim mendapatkan pendidikan ini. Daulah juga akan memastikan bagi mereka yang muslim memiliki akidah yang kuat pada tingkat sekolah dasar sebelum mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Begitu juga pengajaran tentang adab dan akhlak dimulai pada tingkat dasar ini.

Selain itu, Daulah akan mengondisikan agar keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarakat menjalankan fungsinya. Begitu juga dengan masyarakat sebagai lingkungan tempat anak-anak bersosialisasi akan dijaga agar memberikan pengaruh yang baik dan islami bagi anak. Media sebagai sarana informasipun tak luput dari pengawasan daulah. Ide-ide yang bisa merusak jiwa dan jasmani anak akan senantiasa dijauhkan karena negara memproteksi dengan ketat.

Begitulah daulah dengan asas Islamnya mampu membangun peradaban yang penuh dengan kemajuan serta membentuk manusia yang mulia dan bermartabat sekaligus. Itulah tujuan agung pendidikan sebenarnya. Dan tujuan ini hanya akan tercapai bila sistem pendidikan Islam diterapkan dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah. Bukan yang lain. Wallahuaa’lam bishshawwab.

Rina Yunita, SP.
(Pemerhati Remaja & Member Komunitas Revowriter)

Artikel Terkait

Back to top button