Tekanan Barat Soal Hak-Hak Kelompok LGBT Adalah Penjajahan Model Baru
Penjajahan merupakan bagian dari realita dan perjalanan sejarah. Para penjajah memperlakukan daerah jajahannya sebagai koloni. Oleh karena itu, penjajahan disebut sebagai praktik kolonialisme.
Praktik kolonialisme oleh kekuatan oksidental memberi dampak terhadap tatanan masyarakat daerah koloni, pemerintah dan masyarakat kolonialis, dan juga tatanan dunia saat dan pasca kolonial. Pasca merdekanya koloni-koloni Barat pasca Perang Dunia II, muncul permasalahan baru yakni imperialisme. Kesadaran serta kritik atas kolonialisme dan imperialisme mengakibatkan terbentuknya paradigma dan teori pascakolonial.
Edward Said sendiri merupakan pionir dari studi pascakolonial. Said berbeda dengan scholar dari Frankfurt School, Prancis, dan Anglo-Saxon yang tidak banyak bersuara tentang rasisme dan anti-imperialisme. Salah satu bentuk konspesi pascakolonial yang Said cetuskan adalah konstruksi “oriental” oleh scholars dari negara kolonialis Barat.
Pada dasarnya, perspektif pasca kolonial menciptakan dikotomi yang bersifat oposisi biner, seperti “us” and “them” sebagai contoh. Hal ini tergambarkan dalam konsep pembagian biner antara oriental dan oksidental. Oksidental adalah bangsa Barat yang pernah atau masih memiliki koloni. Sedangkan, oriental adalah the rest atau bangsa-bangsa yang pernah terjajah. Poin utama dari orientalisme adalah bagaimana oksidental mendominasi, melakukan restrukturisasi, dan memiliki otoritas atas oriental.
Dewasa ini, muncul isu tentang hak kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender) di Indonesia. Hukum di Indonesia sendiri tidak mengategorikan kegiatan seks sesama jenis serta sodomi sebagai tindakan kriminal. Indonesia juga belum mengatur tentang pernikahan sesama jenis, civil union (tinggal bersama), atau adopsi bagi kelompok LGBT.
Walaupun secara hukum masih belum secara jelas menyatakan legal atau ilegal, secara kultural LGBT masih sulit diterima oleh masyarakat Indonesia. Hal tersebut dinilai bertentangan dengan nilai agama dan kultur keluarga Indonesia secara tradisional.
Secara politis, isu LGBT adalah narasi yang menarik untuk dimainkan. Belakangan ini, terdapat narasi mengenai LGBT mengenai RUU P-KS (Penghapusan Kekerasan Seksual) yang dikaitkan sebagai pintu masuk LGBT. Sebelumnya pada 2018 lalu, Zulkifli Hasan, Ketua MPR saat itu, menyatakan bahwa terdapat lima fraksi pendukung LGBT di DPR.
Isu LGBT di ranah politik juga dinilai hanya penggorengan kala mendekati tahun politik semata. Walaupun begitu, belum ada partai yang terang-terangan mendukung hak kelompok LGBT. Dukungan sebuah partai politik terhadap LGBT akan merugikan partai tersebut secara elektoral karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam serta faktor sosio-kultural yang sebelumnya disebutkan.
Dalam perspektif hubungan internasional, isu LGBT merupakan salah satu isu yang kerap disuarakan dan terdapat kepentingan-kepentingan dalam penyuaraan isu tersebut.
Sebagai contoh, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, dalam memonya menyatakan Amerika berada di garis terdepan dalam membela hak-hak kelompok LGBT di dunia. Kepentingan dan narasi pembelaan terhadap kelompok LGBT kerap menjadi dasar sebuah negara, organisasi non-pemerintah, atau perusahaan multinasional untuk menekan sebuah negara agar menghormati hak-hak kelompok LGBT. Sebagai contoh, Brunei menangguhkan hukuman mati untuk kelompok LGBT setelah mendapat tekanan internasional.