RESONANSI

Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukannya yang Konstitusional

Berlainan Soalnya:

  • bila Pancasila diisi dengan unsur-unsur yang memang bertentangan dengan asas keyakinan dan ajaran masing-masing agama itu,
  • bila Pancasila ditingkatkan menjadi “sumber dari segala sumber hukum”, yang melukai keyakinan umat beragama,(**) padahal yang semacam itu tak mungkin pernah terlintas dalam pikiran para penyusun teks Pancasila sendiri,
  • bila sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. (sila ke-4) ditorpedir dengan referendum, satu cara mengambil keputusan hanya dengan pemungutan suara langsung dari orang-per-orang, tanpa ada permusyawaratan. Segala sesuatu berlaku di luar Lembaga Perwakilan, sekalipun untuk menentukan nasib UUD Republik Indonesia. Sehingga gugurlah sila ke-4 dari Pancasila. Dengan referendum disertai susunan MPR yang disiapkan menurut Undang-Undang Pemilu yang terbaru nanti, akan amat mudahlah setiap pasal dari UUD Negara mendapat giliran untuk gugur pula, atau berobah menurut keinginan fihak Penguasa, sewaktu-waktu,- bila Pancasila diberi fungsi untuk menentang ciri-ciri khas sebagai asas bagi organisasi-organisasi politik dan non-politik, termasuk lembaga-lembaga profesi dan keagamaan, sehingga negeri kita ini, setahap demi setahap, menjurus kepada sistem totaliter.

Inilah sebenarnya, yang menjadi masalah. Bukan masalah Pancasila sebagai Dasar Negara.

Tak dapat disangkal, bahwa dari kalangan pengamat politik, kaum cendekiawan dari berbagai bidang profesi yang secara individual sebagiannya independen dan sebagiannya lagi pegawai negeri, melalui seminar-seminar dan forum-forum diskusi dalam berbagai bentuknya, juga melalui lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif, telah cukup menyampaikan kekhawatiran mereka terhadap akibat-akibat negatif dari gaya totaliter yang sama sekali tidak mau kenal dengan nilai “Bhinneka Tunggal Ika” dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Dalam suasana derasnya arus pemikiran dalam masyarakat menyangkut hal-hal yang sedemikian fundamental, pihak pemerintah ternyata tidak bersedia mengatasi persoalan secara mendasar dengan meneliti masalah dari segi sebab dan akibat, melainkan lebih banyak bersifat mencari-cari kesalahan pihak lain, seolah-olah masih ada golongan-golongan “anti-Pancasila”, (tanda kutip), ditujukan ke alamat setiap golongan dan siapa saja yang tidak bisa menyetujui cara menafsirkan dan memfungsikan Pancasila, sebagaimana yang sekarang di-ingin-kan oleh pihak Penguasa.

Diseru-serukan: “Demi Kesatuan dan Persatuan!”
Yang kita alami: Gejala-gejala Islamofobia terus meningkat dari sehari ke sehari dalam bermacam bentuk dan bidangnya; mengakibatkan frustrasi di satu pihak dan radikalisasi di lain pihak.
“Demi Stabilitas dan Kemantapan!”
Yang kita alami: Stabilitas semu, diliputi rasa-takut di satu pihak dan sikap masa bodoh di lain pihak.
“Demi Pengamalan Pancasila!”
Yang kita alami: tersingkirnya Pancasila dari Undang-Undang Dasar R.I. yang melahirkannya di tahun 1945.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button