SUARA PEMBACA

Tercekik Harga BBM, Nasib Rakyat Makin Sulit

Zalim. Kata yang tepat untuk menggambarkan kebijakan penguasa hari ini. Saat rakyat belum pulih dari hantaman pandemi, guyuran kebijakan nirempati menambah perih. Terbaru, kebijakan kenaikan BBM bersubsidi yang niscaya makin membuat kehidupan rakyat bertambah sulit.

Dikutip dari liputan6.com, 3/9/2022, pemerintah akhirnya memutuskan mengubah harga Solar bersubsidi menjadi Rp6.800 per liter, Pertalite bersubsidi menjadi Rp10.000 per liter, dan Pertamax Rp14.500 per liter pada Sabtu, 3 September 2022. Kenaikan harga ini menjadi rekor tertinggi Presiden Jokowi menaikkan harga BBM.

Ya, bukan kali ini saja Presiden Jokowi menaikkan harga BBM. Tercatat sudah tujuh kali Presiden Jokowi menaikkan harga BBM. Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menguatkan data tersebut dengan rincian, pada 17 November 2014, 1 Januari 2015, 1 Maret 2015, 28 Maret 2015, 30 Maret 2015, 10 Oktober 2018, dan 3 September 2022. Pada 2014-2018, kenaikan berkisar dari Rp 400-2.000 per liter.

Gelombang penolakan kenaikan BBM ini pun tak ayal mengundang aksi demonstrasi di sejumlah wilayah di Tanah Air. Ironisnya, saat gelombang aksi demonstrasi menggeruduk Gedung DPR RI, para tuan dan puan wakil rakyat justru sedang bernyanyi merayakan ulang tahun Puan Maharani.

Sudah zalim, nirempati pula. Dengan dalih penyaluran subsidi yang tidak tepat sasaran, pemerintah mengambil keputusan yang justru menambah beban rakyat. Faktanya, utanglah yang menjadi beban bagi keuangan negara sehingga nasib rakyat menjadi taruhan.

Muhammad Said Didu dalam akun Twitter pribadinya pada Jumat, 9/9/2022, menyebut alasan sebenarnya sehingga subsidi harus dicabut yang mengakibatkan harga BBM naik, yaitu sebagian besar dana APBN untuk membayar utang. Menurutnya, dari data yang ada, pada tahun 2021, sudah lebih dari 40% pendapatan negara digunakan untuk membayar utang.

Utang yang menggunung, ditambah berbagai proyek besar yang dijalankan demi melayani kepentingan oligarki kapital, seperti proyek IKN dan kereta cepat Jakarta-Bandung inilah sejatinya yang membebani APBN. Jangan lupakan pula, anggaran dana fantastis tunjangan dan pensiunan para tuan dan puan wakil rakyat di DPR RI yang membuat ngilu hati rakyat. Lalu, mengapa kepentingan rakyat yang selalu dianggap menjadi beban?

Inilah paradigma kapitalisme yang memandang rakyat adalah beban bagi negara. Alhasil, penguasa memutar otak untuk berpikir kreatif agar subsidi diminimalkan bahkan dihapuskan. Tidak heran, berbagai kebijakan yang ada senantiasa merugikan rakyat, sebaliknya sarat dengan kepentingan para oligarki kapital.

Meskipun pemerintah memberikan kompensasi dalam bentuk BLT BBM, tetapi pesimis dapat menyelesaikan persoalan. Sebab, kenaikan BBM akan menyebabkan naiknya beban operasional seluruh kegiatan ekonomi rakyat yang berimbas naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Sementara itu, kenaikan tersebut tidak sebanding dengan kompensasi BLT BBM untuk rakyat yang sangatlah kecil, yakni hanya Rp600 ribu/KPM (Keluarga Penerima Manfaat). Kompensasi ini pun hanya akan diterima oleh sekitar 20 juta orang saja. Alhasil, BLT BBM ini hanya solusi tambal sulam yang sejatinya tidak menuntaskan persoalan.

Kenaikan harga BBM yang berulang, menambah panjang daftar kegagalan penguasa mengelola migas. Alih-alih dikelola secara benar, pengelolaannya justru ambyar. Jika kita mau menelaah, sengkarut tata kelola migas ini sejatinya tidak lepas dari cengkeraman liberalisasi migas ala kapitalis. Liberalisasi inilah yang membuka peluang bagi para mafia migas mengambil peran dalam “membajak” tata kelola migas di negeri ini.

Marwan Batubara, Koordinator Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN), dalam diskusi publik bertema “Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak di Tengah Keterpurukan Kehidupan Masyarakat, Apa Imbasnya?” yang diadakan oleh majelis aktivis Pro Demokrasi (ProDem) di Jakarta Utara pada Rabu (31/8), mengungkapkan bahwa kenaikan harga BBM merupakan hal yang wajar terjadi karena Indonesia telah menjadi negara net importir sejak tahun 2004. Kenaikan ini pun akan terus membayangi karena para mafia migas berkepentingan untuk kita terus mengimpor (minyak).

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button