SUARA PEMBACA

Tercekik Harga BBM, Nasib Rakyat Makin Sulit

Di sisi lain, pemerintah tidak transparan dalam mekanisme pembelian minyak dan BBM, ditambah mandeknya berbagai upaya pembangunan kilang baru yang tidak ada sampai sekarang, meskipun telah ditandatangani berbagai MoU atau Nota Kesepahaman. Alhasil, kebijakan yang ada sejatinya tidak lepas dari kepentingan mafia di satu sisi dan komitmen pemerintah di sisi lain. (fnn.co.id, 31/8/2022).

Tampak jelas, sengkarut tata kelola migas di negeri ini tidak lepas dari sistem kapitalisme-sekuler-liberal. Paradigma sistem ini nyata menempatkan rakyat sebagai beban bagi negara. Di satu sisi, negara tak ubahnya korporasi besar yang mengeruk pundi-pundi cuan dari rakyatnya. Tidak heran, rakyat bukan makin sejahtera, melainkan makin sengsara. Sementara tuan penguasa dan oligarki di lingkarannya justru makin berfoya-foya. Inilah kezaliman yang nyata ditampakkan oleh sistem rusak ini.

Hakikatnya, BBM, energi, dan sumber daya alam lainnya yang menguasai hajat hidup rakyat adalah milik rakyat. Hal ini berdasarkan pada ketentuan syariah, sebagaimana termaktub dalam hadis, “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api. Harganya adalah haram.” (HR. Ibn Majah dan ath-Thabarani).

Dalam Kitab As-Siyaasah al-Iqtishadiyah al-Mutslaa, berdasarkan hadis tersebut, ketiga jenis sumber daya alam yang termaktub dalam hadis ini adalah milik umum. Namun, statusnya sebagai milik umum adalah berdasarkan sifatnya, yaitu sebagai barang-barang yang dibutuhkan masyarakat secara umum. Sementara menurut An-Nabhani dalam An-Nizhaam al-Iqtishaadi, hlm. 201, semua sumber daya alam yang menjadi kebutuhan masyarakat secara luas (min maraafiq al-jamaa’ah) adalah milik umum.

Dari hadis tersebut, jelas haram bagi penguasa meliberalisasi migas yang sejatinya milik rakyat, demi melayani kepentingan para oligarki kapital yang mengambil keuntungan di luar logika. Padahal semestinya, penguasalah yang wajib berperan mengelola migas demi kemaslahatan rakyat, yang mana hasilnya didistribusikan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Alhasil, kebijakan kenaikan BBM dengan dalih apa pun wajib ditolak! Sebaliknya, penguasa semestinya berbenah diri, wajib mengembalikan tata kelola migas dalam koridor syarak, niscaya migas dan sumber daya alam lainnya terkelola dengan baik dan benar. Semua itu jelas semata-mata untuk kepentingan rakyat. Pertanyaannya, mungkinkah tata kelola ini terwujud dalam naungan kapitalisme-sekuler-liberal yang justru membawa rakyat dalam kubangan derita? Wallahu’alam bissawab.

Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masyarakat.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button