Terjebak Gelar
Gelar Perlu atau Tidak?
Bila kita amati dengan serius siapa yang membuat perubahan besar di masyarakat Indonesia atau dunia, ternyata banyak juga yang tidak bergelar. Atau jumlahnya seimbang. Tokoh-tokoh pendiri gerakan Islam seperti Abul Ala al Maududi, Hasan al Banna, Taqiyuddin an Nabhani, Tjokroaminoto, Mohammad Natsir, Ahmad Hasan, Hamka, Hasyim Asy’ari, Wachid Hasyim, Ahmad Dahlan tidak bergelar formal. Penemu Microsoft dan Google tidak bergelar formal dan lain-lain. Kita bisa mendata lebih lanjut para pengusaha-pengusaha yang besar, seperti Ciputra, Jakob Oetama tidak bergelar. Mubaligh-mubaligh yang terkenal di Indonesia: Arifin Ilham, Aa Gym, Habib Rizieq dan lain-lain, tidak bergelar formal.
Ada pula yang bergelar formal dan berpengaruh besar dalam pemikiran Islam di Indonesia. Seperti doktor-doktor hasil didikan Prof Naquib al Attas dan Prof Wan Mohd Nor Wan Daud dari Malaysia. Seperti : Prof Hamid Fahmy Zarkasyi, Dr Adian Husaini, Dr Syamsuddin Arif, Dr Nirwan Syafrin Manurung dan lain-lain. Atau hasil pendidikan keluarga (dan luar negeri) yang bagus, seperti Prof Amien Rais dan Prof Din Syamsuddin. Juga ada mubaligh-mubaligh bagus yang bergelar, seperti: Dr Adi Hidayat, Dr Abdul Somad dan lain-lain.
Jadi sebenarnya kualitas manusia (guru) janganlah diukur dari gelar formal seperti saat ini yang menggejala dalam dunia pendidikan kita. Faktor gelar formal S1, S2 atau S3 yang saat ini menjadi ukuran pendidikan kita, menyebabkan banyak orang yang pandai, hanya karena tidak mempunyai gelar, ia tidak bisa mengajar di instansi-instansi formal kita. Ada beberapa perguruan tinggi yang membolehkan mereka mengajar, tapi itupun sifatnya suplemen belaka. Mereka meskipun mempunyai keahlian yang tinggi dalam manajemen, gara-gara tidak bergelar, maka ia tidak diperkenankan memegang manajemen pendidikan.
Dan inilah salah satu ‘lingkaran setan’ itu, karena gelar formal menjadi ukuran segalanya. Misalnya –dan saat ini menggejala—adalah banyaknya para guru atau pegawai-pegawai pemerintah yang sekolah kembali hanya untuk meraih gelar. Karena dengan gelar yang lebih tinggi, gaji mereka naik lebih tinggi. Mereka-mereka yang mau pensiun pun berlomba untuk kuliah lagi agar uang pensiunnya naik.Yang penting gelar, ilmu soal kedua. Karena sistem pendidikan kita, telah meniru mentah-mentah sistem pendidikan Barat (meski Barat kini coba merevisinya).
Bila kita kembali ke sistem pendidikan Islam, maka gelar bukan tujuan pendidikan. Orang boleh kuliah sampai S3, tapi niat harus benar. Yaitu untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya dan mendekatkan diri kepada Allah. Karena itu, Imam Ghazali mengingatkan dengan keras, siapa yang mencari ilmu dengan tujuan untuk ‘keduniaan’, maka ia dilaknat oleh Allah. Bila ilmu diletakkan di bawah dunia/harta, maka ilmu nilainya lebih rendah dari harta. Dan disinilah mulai kerusakan ilmu dan juga kerusakan dunia.
Pesan penting Sayidina Ali bahwa ilmu lebih tinggi dari harta mesti terus kita camkan dalam hati. Sayidina Ali menyatakan, ilmu warisan para Nabi, harta warisan Qarun dan Firaun. Ilmu menjaga kamu, harta kamu harus menjaganya. Banyak ilmu banyak sahabatnya, banyak harta ‘banyak musuhnya’. Ilmu bila diberikan bertambah, harta bila diberikan berkurang. Ilmu dapat menerangi hati, sedangkan harta dapat menjadikan padatnya hati. Dan yang penting, di tangan orang berilmu harta bermanfaat. Di tangan orang jahil, harta mudharat.
Maka dahulu ulama-ulama kita tidak memberi gelar pada murid atau santrinya bila mereka telah selesai tingkat pendidikannya. Tapi mereka diberikan ijazah bahwa mereka telah menguasai (dan mengamalkan) ilmu itu. Guru atau ulama tidak sembarangan memberikan ijazah kepada muridnya. Mereka-mereka yang akhlaknya rusak, atau tidak menguasai ilmu tertentu, tidak diberikan ijazah itu. Bahkan para ulama (cendekiawan Islam) dulu karena kerendahan hatinya, mereka sering menyebut dirinya ‘al faqir’. Beberapa gelar yang terkenal untuk para ulama dulu yang hebat adalah Kiai, al Imam, al Hafizh, Taqiyudin dan semacamnya.
Dalam Islam, mencari ilmu adalah kewajiban sepanjang hidup. Carilah ilmu dari mulai ‘kandungan’ sampai liang lahat, sabda Rasulullah Saw. Mencari ilmu bukan hanya di kelas atau di kampus. Mencari ilmu bisa di tempat-tempat pengajian, kelas-kelas diskusi, masjid-masjid, warung kopi, rumah, toko buku, perpustakaan dan lain-lain.
Jadi, letak kualitas manusia bukan pada gelarnya. Tapi pada diri keseluruhan pribadi orang itu, pada namanya bukan pada gelarnya. Pada ketinggian ilmu dan adabnya. Pada karyanya. Wallahu alimun hakim.
Nuim Hidayat, Penulis Buku “Agar Umat Islam Meraih Kemuliaan.“