RESONANSI

The Crimes of Privilege Jokowi

Menghindari surat kuasa yang memang dibawa seharusnya oleh para pembela pengacara hukumnya.

Ya karena ini memang urusannya ranah pidana, bukan ranah etika.

Itulah risiko yang dialami oleh Presiden, sebaliknya Presidenlah yang justru dianggap tidak menghormati lembaga peradilan.

Sepantasnyalah dilakukan pengusiran kepada para staf penugasan Presiden itu.

Dan sudah pasti sumpah serapah dan caci maki yang harus diterima Presiden menjadi amat nelongso: memang kok ya Presiden menjadi seolah sangat bodoh, bahlul, dan bego, atau bedegul berpretensi seolah tidak mengerti atas gugatan perkara hukum ini.

Jadi, kembali lagi ke soal “the crime of privilege” itu. Solusinya, kejahatan yang sempurna harus dilawan dengan kebenaran yang sempurna. Artinya, “kesempurnaan kejahatan vs kesempurnaan kebenaran”.

Kebenaran yang sempurna dan atau “kesempurnaan kebenaran” itu dalam hukum sudah tak ada bodering lagi antara etika dan pidana. Semuanya berkedudukan secara simbiosis equal dan mutual dengan dan dalam hakiki kebenaran itu sendiri.

Karena perbuatan pelanggaran melawan hukum oleh Jokowi itu berada di MK, maka MKMK lah yang baru dibentuk 10 Oktober 2023 itu menemukan momentum kritikal dan strategisnya sebagai majelis kehormatan hakim tertinggi di MK yang berkewenangan mengambil keputusan.

Dan ingat segala kebenaran-kebenaran itu —seperti diamanatkan oleh setiap Kitab Suci yang difirmankan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa itu sesederhana dan atau sangat sederhana dilaksanakan.

Yaitu, cukup hanya ditentukan oleh MKMK yang keanggotaan hanya tiga orang yang sudah pasti dijamin secara hukum independensinya, yaitu Jimly Asshidiqie (wakil tokoh masyarakat), Wahiddudin Adam (Wakil Internal MK) dan Bintan Saragih (Wakil Akademisi Hukum). Dan putusannya itu bersifat mutlak (final) dan mengikat (binding).

Itulah ketiga pendekar MK baru yang diharapkan dapat memperbaiki dan mengembalikan marwah MK yang sungguh sudah hilang kepercayaan dari rakyatnya, ambruk dan amburadul. Sampai banyak disematkan akronim MK sebagai penyinyiran, seperti diungkapkan abang Rizal Fadilah: Mahkamah Kacrut, Mahkamah Kecoa, Mahkamah Kentut atau Mahkamah Kutukan!

Jika keputusan hukumnya kemudian Jokowi ditetapkan melakukan pelanggaran etika maka itu bisa secara inkracht, adil dan setara seharusnya DPR/MPR bisa langsung dan otomatis melakukan sidang istimewa pemakzulan kepada Jokowi. Juga pemecatan Ketua MK Anwar Usman dan pembatalan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto.

Jika Jokowi tidak ingin dimakzulkan karena mengandung “kehinaan” dan “kebersalahan” seperti itu, akan terasa lebih terhormat jika kemudian Jokowi mengundurkan diri dari jabatan Presidennya sebelum adanya keputusan MKMK tanggal 7 November 2023 ini.

Itulah ruang etika kebenarannya. Sesederhana itu kan suatu “kesempurnaan kebenaran” itu dibanding versus “kesempurna kejahatan” yang dampaknya sungguh sangat kompleks bakal menganggu dan merugikan perikehidupan rakyat Indonesia ke depan yang jumlah seluruhnya sudah nyaris berjumlah 300 juta ini.[]

Mustikasari-Bekasi, 1 November 2023

Dairy Sudarman, Pemerhati politik dan kebangsaan.

Laman sebelumnya 1 2 3 4

Artikel Terkait

Back to top button