SUARA PEMBACA

THR Tidak Merata, Kesejahteraan Rakyat Masih Utopia?

Gigit jari. Itulah yang dirasakan oleh pegawai honorer dan perangkat desa yang tidak akan menerima THR tahun ini. Sebab, pemerintah telah memastikan bahwa pembagian THR hanya akan diberikan kepada para pejabat dan aparatur sipil negara (ASN).

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Abdullah Azwar Anas, mengatakan bahwa honorer tidak akan mendapatkan THR, kecuali tenaga honorer yang sudah diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Senada dengan Men-PANRB, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, juga mengungkapkan bahwa pemberian THR oleh pemerintah pusat kepada daerah hanya untuk ASN, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), calon ASN, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati hingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Mendagri pun menjelaskan bahwa bagi perangkat desa memang aturannya tidak ada, karena dalam undang-undang desa bukan termasuk ASN. Perangkat desa, kepala desa bukan ASN baik di UU ASN, UU Desa, statusnya bukan ASN. Oleh karena itu, tidak termasuk pemberian tunjangan hari raya yang diberikan oleh pemerintah. (cnbcindonesia.com, 18/03/2024).

Kebijakan pemerintah terkait pemberian THR ini jelas dapat menimbulkan kecemburuan sosial antarpegawai. Bersumber dari APBN, semestinya semua yang mengabdi pada negara mendapatkan hal yang sama. Sebab, salah satu pendapatan APBN bersumber dari pajak yang diperoleh dari seluruh rakyat. Ya, pajak yang berasal dari seluruh rakyat nyatanya hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Perbedaan pemberian THR tampak menunjukkan kebijakan negara yang berat sebelah, bahkan zalim. Pemerintah seolah menganaktirikan para honorer dan perangkat desa ini. Padahal di lapangan, para honorer ini justru kerap kali diberi beban pekerjaan lebih berat daripada para ASN. Mirisnya, THR bagi para honorer dan perangkat desa nyatanya hanya mimpi belaka.

Sejatinya, kebijakan THR yang berat sebelah merupakan sebuah keniscayaan dalam naungan sistem ekonomi kapitalisme. Sebab, sistem ini memiliki keterbatasan pada sumber pemasukan sehingga dana yang ada tidak mencukupi untuk menyejahterahkan semua pegawai. Oleh karena itu, lahirlah kebijakan yang berpihak hanya kepada para pejabat dan ASN, sedangkan para honorer harus menelan kecewa.

Kebijakan ini sangat kontras dengan kebijakan yang lahir dalam naungan sistem Islam. Dalam naungan Islam, tunjangan hari raya (THR) tidaklah dikenal. Sebab, paradigma Islam memandang bahwa menjadi kewajiban penguasa menjamin kesejahteraan rakyatnya, yakni dengan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok seluruh rakyat. Oleh karena itu, negara wajib membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi kaum laki-laki. Sehingga kewajibannya mencari nafkah untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup keluarganya dapat terpenuhi.

Jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat tidak hanya diberikan kepada segelintir rakyat, tetapi kepada seluruh rakyat tanpa terkecuali, baik Muslim maupun non-Muslim, kaya maupun miskin, tua maupun muda. Hebatnya, jaminan ini dipenuhi oleh negara setiap harinya, tidak hanya ketika hari raya saja.

Tidak seperti sistem kapitalisme yang terbatas sumber pemasukannya, sistem Islam justru memiliki banyak sumber pemasukan, diantaranya berasal dari pengelolaan harta kepemilikan umum, fai, jizyah, kharaj, dsb. Adapun sumber pemasukan ini dikelola oleh negara melalui baitulmal.

Banyaknya sumber pemasukan inilah yang membuat negara sangat mampu menyejahterakan rakyatnya. Sehingga saat hari raya tiba, rakyat tak lagi dipusingkan dengan mahalnya kebutuhan pokok dan tingginya harga tiket kendaraan untuk pulang kampung. Sebab, negara telah menjaminnya dengan penuh tanggung jawab.

Selain itu, sumber-sumber pemasukan negara tidak hanya disalurkan untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat saja, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan sekundernya. Misal, negara membangun fasilitas hiburan dan wisata di ruang-ruang publik yang mudah dan murah diakses oleh rakyat, bahkan gratis. Fasilitas hiburan dan wisata ini pun tidak boleh dikomersialisasi. Negara harus mengelolanya semata-mata demi kepentingan rakyat. Alhasil, rakyat tak lagi dipusingkan untuk mengakses tempat hiburan dan wisata ketika hari raya tiba, bahkan diakses setiap hari pun bisa.

Inilah cara Islam menyejahterakan rakyatnya. Merata bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Tak menunggu hari raya, THR dapat dikecap setiap hari. Alhasil, saat bulan Ramadan, kaum Muslim pun dapat fokus beribadah, dan saat Idulfitri tiba dapat menyambutnya dengan penuh bahagia. Wallahu’alam bishshawab.[]

Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan

Artikel Terkait

Back to top button