RESONANSI

Tidak Aneh Jika Berpaham Syiah

Kasus menggemparkan ada guru ngaji yang memperkosa belasan santriwati yang kini berada dalam proses hukum tentu memprihatinkan. Baru terungkap ada yang hamil hingga melahirkan, bahkan ada yang melahirkan dua kali.

Perilaku Herry Wirawan (HW) ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah memang itu “perkosaan” atau menjalankan ajaran dengan pemahaman khusus yang membenarkan hubungan intim model seperti ini. Apakah itu praktik nikah mut’ah yang menjadi ciri ritual ajaran sesat Syiah? Patut untuk didalami.

Berbagai sebutan bagi lembaga-lembaga pendidikannya sehingga tidak jelas kurikulum pendidikan yang diajarkannya. Lebih jauh kabur pula misi dan visi yang diembannya. Aspek kelembagaan ada sebutan Boarding School, Pesantren, ada pula Rumah Tahfidz. Dalam ajaran Syiah menyamarkan diri agar sulit terdeteksi, taqiyah namanya. Adakah indikasi seperti ini? Santri yang lebih terlihat “bekerja” ketimbang “belajar” memperkuat indikasi.

Kawin kontrak (mut’ah) dianggap ibadah dalam ajaran Syiah. Bahkan semakin sering melakukan mut’ah semakin besar pahalanya. Inilah bahayanya paham seperti ini karena santriwati atau peserta didik akan mudah dirayu dengan tipuan yang seolah-olah menjalankan “syariat”.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memfatwakan haramnya nikah kontrak (mut’ah). Fatwa MUI tanggal 25 Oktober 1997 yang mengharamkan nikah mut’ah ditandatangani oleh Ketua Umum MUI KH Hasan Basri, Sekretaris Drs. HA Nazri Adlani dan Ketua Komisi Fatwa Prof KH Ibrahim Hosen, LML. Di samping mengharamkan MUI menegaskan pada butir ketiga :

“Bahwa mayoritas umat Islam adalah penganut paham Sunni (Ahlus Sunnah wal Jamaah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syiah secara umum dan ajarannya tentang nikah mut’ah secara khusus”.

Terlepas kasus HW yang cukup aneh dan terjadi konon dari seorang guru ngaji, maka masyarakat dan umat Islam harus mewaspadai praktik nikah kontrak (mut’ah) yang terjadi di banyak tempat. Ajaran Syiah ini membahayakan dan merusak nilai-nilai moral yang berbasis keagamaan. Menjadi semacam legalisasi dari perzinaan.

Dengan korban di bawah umur kasus HW di proses hukum secara tertutup. Publik sebenarnya ingin mengetahui motif dan pemahaman ajaran HW atas kelakuan tercela nya itu. Semata nafsu, sakit, atau memang ia melakukan kawin kontrak (mut’ah) sehingga “memperkosa” dan menghamili santri dianggap sebuah ibadah. Naudzubillahi min dzalik.

M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Bandung, 11 Desember 2021

Artikel Terkait

Back to top button