Tiga Masalah di Balik Kebijakan ‘New Normal’
Pemerintah, melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, telah memperbolehkan 102 wilayah kabupaten/kota di tanah air untuk menerapkan kebijakan “New Normal”. Kebijakan ini sangat mencemaskan, karena secara epidemiologis Indonesia sebenarnya masih berada dalam zona merah pandemi. Belum terlihat tanda-tanda “kenormalan”, yang terlihat justru ketidakjelasan seperti berjalan di tengah kegelapan.
Sebagai catatan, Indonesia saat ini berada di urutan ke-19 dunia dalam hal penambahan kasus baru. Menurut data WHO (World Health Organization), angka penularan virus, atau ‘reproduction rate’ (RO) Corona di Indonesia adalah 2,5, artinya satu penderita bisa menulari 2,5 orang. Tingkat penularan ini masih tergolong tinggi.
Secara umum, ada tiga persoalan kenapa wacana dan kebijakan”New Normal” ini dianggap buruk.
Pertama, otorisasi dan organisasi pengambilan keputusannya kacau. Pandemi ini oleh Pemerintah telah ditetapkan sebagai bencana nasional, di mana strategi yang dipilih untuk mengatasinya adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2020, penetapan PSBB ini kewenangannya dipegang oleh Kementerian Kesehatan. Namun, otorisasi “New Normal”, yang dalam praktiknya bisa disebut sebagai bentuk pelonggaran terhadap PSBB, alih-alih dikembalikan ke Kementerian Kesehatan, malah dipegang oleh Gugus Tugas. Ini membuat organisasi pengambilan keputusan jadi tak jelas.
Hasilnya sudah bisa kita lihat. Dari 102 wilayah yang diperbolehkan “New Normal” oleh Gugus Tugas, misalnya, tak ada satupun kota di Jawa yang masuk rekomendasi, kecuali Tegal. Tapi anehnya, Gubernur Jawa Barat sudah mengumumkan per 1 Juni kemarin ada 15 daerah di Jawa Barat yang boleh menerapkan “New Normal”. Ini kan jadi kacau otorisasinya!
Kedua, datanya ‘misleading’. Pemerintah mengklaim angka reproduksi Covid-19 Indonesia sudah berada di angka 1,09. Dalam standar WHO, angka ini bisa dianggap terkendali. Masalahnya, angka yang digunakan Pemerintah ini adalah angka yang ada di DKI Jakarta.
Menggunakan tren perbaikan R0 dan Rt di DKI Jakarta sebagai dasar untuk menggaungkan kebijakan “New Normal” di level nasional jelas ‘misleading’. Lagi pula, meskipun di atas kertas data Covid-19 di DKI trennya cenderung membaik, data itu tetap harus dilihat secara kritis.
Berdasarkan data Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dalam dua minggu terakhir tingkat penularan Covid-19 di DKI Jakarta memang turun. Pada 31 Mei lalu, angkanya berkisar antara 0,89 hingga 1,22. Masalahnya adalah, tren penurunan itu harus kita hubungkan dengan dibukanya keran mudik alias pulang kampung oleh Pemerintah menjelang lebaran kemarin.
Menurut data Jasa Marga, tercatat ada 465.582 kendaraan keluar dari Jakarta dalam rentang waktu H-7 hingga H-1 sebelum lebaran kemarin. Dari jumlah tersebut, menurut Polda Metro Jaya, hanya sekitar 25 ribu kendaraan saja yang bisa dihalau untuk putar balik. Artinya, secara de facto terjadi arus mudik pada lebaran kemarin. Sehingga, tren penurunan kasus baru dan tingkat penularan Covid-19 di DKI belum menggambarkan kondisi normal yang sesungguhnya.
Terbukti, saat kasus di DKI menurun, di Surabaya justru terjadi ledakan jumlah penderita Covid-19, yang membuat Surabaya per hari ini bukan hanya zona merah, tapi sudah menjadi zona hitam, saking besarnya jumlah penderita Covid-19 di sana. Artinya, melandainya kurva DKI saat ini bisa jadi disebabkan karena angkanya kini terdistribusi ke daerah melalui peristiwa mudik atau pulang kampung tadi.
Ketiga, basis datanya tak proporsional. Mengutip data Worldometer, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia ternyata memiliki tingkat pengujian yang terburuk di antara negara-negara yang paling terpengaruh oleh Covid-19. Sejauh ini pemerintah Indonesia hanya bisa melakukan 967 tes untuk setiap 1 juta penduduk. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang melakukan 46.951 tes untuk tiap 1 juta penduduk, Singapura yang mencapai 57.249 per 1 juta penduduk, atau Malaysia yang berada di angka 16.083 per 1 juta penduduk.