TP3 dan UI Watch: Kasus KM 50 Adalah Pelanggaran Berat, Presiden Harus Bertanggungjawab!
Jakarta (SI Online) – Perwakilan dari Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) dan Universitas Indonesia (UI) Watch telah menyampaikan laporan pembantaian terhadap enam (6) pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) ke Kantor Perwakilan PBB di Jakarta, Selasa (15/11/2022).
Dalam keterangan tertulisnya, Koordinator TP3 dan UI Watch Marwan Batubara mengatakan, pihaknya prihatin terhadap pembunuhan sadis di luar hukum terhadap keenam syuhada pada 7 Desember 2020, yang dilakukan oleh aparat negara di sekitar Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dan jalan tol KM50 Jakarta-Cikampek.
TP3 telah melakukan penelitian secara menyeluruh dan hasilnya disajikan dalam bentuk Buku Putih yang juga telah diserahkan ke Kantor Perwakilan PBB tersebut.
“TP3 menyimpulkan bahwa kejahatan tersebut bukanlah kejahatan biasa tetapi merupakan kejahatan luar biasa yang dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh karena itu, pelakunya harus diadili sesuai ketentuan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” ungkap Marwan.
Menurutnya, hasil penelitian TP3 menunjukkan bahwa pembunuhan tersebut merupakan kejahatan negara (State crime), karena pelakunya tidak hanya melibatkan Polri tetapi secara sistematis juga melibatkan angkatan bersenjata dan aparatur negara lainnya.
“Kejahatan tersebut merupakan serangan sistematis yang diarahkan terhadap enam pengawal HRS yang hanya berstatus sebagai warga sipil. Mereka diserang secara brutal untuk dibunuh, dan sebelum dibunuh terlebih dahulu disiksa. Pembunuhan enam pengawal HRS telah melanggar ketentuan Konvensi Wina 1993 dan Statuta Roma 1998,” jelas Marwan.
Dengan demikian, kata Marwan, kondisi dan proses eksekusi dapat dianggap sebagai tindakan penyiksaan berdasarkan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment 1984.
Kejahatan tersebut merupakan tindakan brutal dan kejam oleh Negara terhadap rakyat, bukan sekedar kejahatan oleh pelaku individual.
“Namun, Pemerintahan Jokowi berusaha meyakinkan publik bahwa hal tersebut hanya kejahatan biasa melalui “kerja sama erat” dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang terlibat dalam pengusutan kasus pembunuhan sadis tersebut. Dalam hal ini, Komnas HAM bukannya melakukan penyelidikan sesuai ketentuan UU No.26/2000. Karena itu Komnas HAM hanya menghasilkan apa yang disebut sebagai “Laporan Pemantauan”, ungkap Marwan.
Ia melanjutkan, sesuai laporan Komnas HAM pada 11 Januari 2021 disebutkan bahwa Negara mengakui pembunuhan pada 7 Desember 2020 di KM50 terhadap empat korban adalah pembunuhan di luar hukum. Komnas juga menegaskan bahwa dua korban lainnya dibunuh untuk membela diri.
“Hal ini membuktikan adanya niat sistematis untuk menipu publik dan menutupi keterlibatan aparat Negara dalam pembunuhan tersebut,” tutur Marwan.