NASIONAL

TP3 Sebut Pengadilan terhadap HRS sebagai Pengadilan Sesat

Jakarta (SI Online)- Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Laskar FPI mengungkapkan, persidangan atas terdakwa Habib Rizieq Syibab (HRS) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang dilaksanakan secara online (daring) merugikan hak hukum pihak terdakwa.

TP3 berpandangan, secara teknis, persidangan online tersebut ternyata mengalami ganggungan audio secara fatal, dimana suara terdakwa tidak bisa jelas dimengerti seluruh hadirin persidangan. Sebaliknya bagi terdakwa, HRS, juga tidak bisa mendengar secara jelas apa yang diucapkan oleh pejabat-pejabat pengadilan di persidangan. Alhasil, terjadi diskoneksi antara hakim dan jaksa di satu pihak, dan terdakwa di lain pihak.

“Secara hukum, persidangan online seperti itu adalah suatu ‘contra legem’ (pelanggaran hukum secara nyata) oleh lembaga peradilan Indonesia. Suatu pencederaan atas asas ‘fair trial’ pada umumnya, dan secara khusus merupakan pemangkasan hak terdakwa untuk membela diri di depan persidangan,” ungkap Ketua TP3 Abdullah Hehamahua dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (22/03/2021).

Abdullah mengingatkan, KUHAP adalah aturan main dalam beracara di pengadilan pidana. KUHAP diberlakukan dengan undang-undang (UU No. 8/1981), yang kedudukannya dalam hierarki perudang-undangan adalah urutan ketiga setelah UUD 1945 dan TAP MPR.

Sementara itu persidangan online, diberlakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 4/2020, yang kedudukannya bukan saja dibawah UU, tetapi juga menurut UU No.12 /2011, PERMA tidak dikenal dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia.

“PERMA hanya mempunyai kekuatan mengikat secara internal yaitu berlaku untuk lingkungan Mahkamah Agung sendiri, tidak mempunyai kekuatan mengikat jika menyangkut kepentingan umum yang melibatkan terdakwa,” ungkap mantan Penasihat KPK itu.

Menurut KUHAP, lanjut Abdullah, terdakwa harus dihadapkan ke ruang sidang secara fisik dan dalam keadaan bebas. Berarti perintah KUHAP adalah mengharuskan persidangan dilakukan secara offline dan tidak dalam keadaan ditahan.

“Untuk menyimpangi ketentuan ini, maka harus mengubah KUHAP dengan instrumen UU juga. Tidak boleh disimpangi dengan perundang-undangan selevel PERMA,” kata mantan Ketua Umum PBHMI itu.

Abdullah membenarkan bahwa PERMA atau Peraturan Menteri (PERMEN) diakui keberadannya dalam praktik beracara dan bernegara, namun keberlakuannya harus atas perintah UU atau peraturan yang lebih tinggi.

Sedangkan dalam persidangan online atas HRS ini tidak ada perintah dalam UU atau KUHAP atau peraturan yang lebih tinggi dari PERMA yang memperbolehkan MA membuat PERMA untuk melakukan persidangan secara online.

Bahkan jika ditambah dengan penolakan sidang online oleh HRS dan berbagai fakta perlakuan fisik yang dialami oleh HRS dalam sidang online di Rutan Bareskrim, TP3 berksesimpulan jika Majelis Hakim telah melakukan kezaliman dengan melanggar hak terdakwa.

TP3 memahami bahwa persidangan atas HRS lebih bersifat politis, sehingga mereka mengaku sudah bisa memperkirakan 99% vonisnya adalah HRS bakal dijatuhi hukuman.

“Ketidakadilan ini sudah kami perhitungkan, sehingga kami tidak berharap ada vonis yang meringankan,” ungkap Abdullah.

Sayangnya, lanjut Ketua Majelis Syuro Masyumi itu, bukan hanya vonisnya yang akan diterima sebagai ketidakadilan, malah sejak awal prosesnya pun merupakan kezaliman nyata.

“Alhasil ini semua menjadi lengkap sebagai suatu peradilan yang sesat. Lembaga peradilan telah berubah fungsi menjadi hanya sebagai Lembaga Pemidanaan,” kata dia.

red: farah abdillah

Artikel Terkait

Back to top button