MASAIL FIQHIYAH

Uang Masjid untuk Honor Penceramah

Assalamu’alaikum wr. wb. Bolehkah uang infak di Masjid dipergunakan untuk kegitan selain perawatan masjid, seperti peringatan hari besar Islam, transportasi atau honor penceramah dan lainnya. Terima kasih.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Harta yang diinfakkan kaum Muslimin melalui kotak-kotak infaq dalam masjid yang berupa tabarru’at (donasi) muthlaq dan shodaqoh muthlaqoh boleh dialokasikan untuk pembangunan, renovasi, dan kemaslahatan masjid yang menjadi hukum asal pos alokasi tersebut, sebagaimana juga dibolehkan dialokasikan untuk semua pos-pos al-khoir (kebaikan) seperti hibah/shilah (pemberian) kepada penceramah, santunan kepada imam dan mu’adzin, santunan kepada tholibul ‘ilmi (pencari ilmu), pembiayaan syiar-syiar dakwah, santunan kepada anak yatim, santunan kepada fakir miskin dan sebagainya.

Kebolehan alokasi dana masjid pada semua pos-pos al-Khoir tersebut dikarenakan harta yang diterima termasuk tabarru’at dan shodaqoh mutlak yang tidak dibatasi pos-pos tertentu dalam pengalokasiannya sehingga termasuk keumuman ayat seperti ayat: “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (Al-Maidah; 2)

Atau ayat: “dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Al-Hajj; 77)

Semua kaum muslimin yang menginfakkan hartanya ke masjid dengan tabarru’at atau shodaqoh mutlak ikhlas karena Allah semata, diganjar pahala Allah atas amalnya tersebut, dan ketika pengurus masjid mengalokasikan untuk pembiayaan aktivitas dakwah dan syiar Islam maka hal tersebut adalah kebaikan dan takwa. Karena itu hal ini termasuk penerapan ayat yang memerintahkan ayat tolong menolong dalam kebaikan dan takwa dan perintah melakuakn semua jenis kebaikan yang diperintahkan Allah secara mutlak.

Dalam kondisi alokasi kurang tepat sasaran pun pihak yang berinfak tidak perlu khawatir, karena alokasi yang kurang memuaskan tidak mengurangi pahala pihak yang berinfak sebagaimana tampak dalam hadis berikut;

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Isra’il telah menceritakan kepada kami Abu Al Juwairiyah bahwa Ma’an bin Yazid ra menceritakan kepadanya, katanya: “Aku, bapakku dan kakekku sudah berbai’at kepada Rasulullah Saw. Aku juga pernah dilamarkan seseorang buatku dan Beliau menikahkanku. Aku juga bersumpah setia (untuk mengembalikan setiap urusanku) kepada Beliau. Suatu hari bapakku, Yazid mengeluarkan dinar untuk dishadaqahkan, lalu dia meletakkannya di samping seseorang yang berada di masjid. Kemudian aku datang, aku ambil dan aku bawa kepadanya, lalu bapakku berkata: “Demi Allah, bukan kamu yang aku tuju”. Lalu masalah ini aku adukan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, maka Beliau berkata,: “Bagimu apa yang sudah kamu niatkan wahai Yazid, sedangkan bagimu apa yang telah kamu ambil wahai Ma’an.” (H.R. Bukhari)

Dalam hadis diatas, Yazid, ayahnya Ma’an bershodaqoh di masjid dengan niat agar diambil orang fakir/miskin yang membutuhkan. Ternyata yang mengambil adalah anaknya sendiri yang membituhkan yaitu Ma’an. Ketika Yazid merasa tidak puas dan ingin menarik kembali lagi harta tersebut ternyata Rasulullah tidak membenarkannya. Rasulullah menjelaskan bahwa Yazid sudah mendapatakan apa yang dia niatkan dan Ma’an berhak mendapatkan harta shodaqoh tersebut. Jadi, riwayat ini menunjukkan pihak yang berinfak cukup memperhatikan niatnya saja dan tidak perlu merisaukan ketepatan alokasi harta yang telah dipercayakan kepada pihak lain untuk dialokasikan.

Adapun jika harta yang diberikan ke masjid itu termasuk harta zakat, maka dalam menggunakan tidak boleh sembarangan, tetapi harus dibatasi dibagi kepada delapan ashnaf (golongan) yang dinyatakan dalam Al-Qur’an;

Sesungguhnya Zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, Amil (pengurus-pengurus Zakat), Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk Jihad di jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan. (At-Taubah; 60)

Ketentuan pembatasan pos pembagian harta zakat hanya bagi 8 ashnaf ini dikarenakan lafadz إِنَّمَا dalam ayat tersebut memberi makna “hashr” (pembatasan). Harf Lam pada kata لِلْفُقَرَاءِ adalah Harf yang bermakna “lam al-milki” (Harf lam yang menunjukkan kepemilikan). Jadi, kombinasi antara harf innama (إِنَّمَا ) dan lam al-milki ( لِ ) menunjukkan bahwa harta zakat dibatasi pemanfaatan dan pemberiannya kepada delapan ashnaf yang berhak atas harta zakat itu.

Termasuk pula jika harta yang diserahkan itu harta kaffarot, atau pihak yang berinfaq mengamanahkan agar diberikan pada pos tertentu. Dalam kondisi ini pengelola masjid harus memisahkan harta-hara khusus ini untuk dibagikan sesuai dengan amanah yang diberikan. Wallahua’lam. []

Artikel Terkait

Back to top button