UAS, Singapura dan Islamofobia
Konflik masa lalu, masa kini dan Islamophobia
Pada masa lalu, konflik Indonesia vs. Singapura terjadi ketika Sukarno, Aidit dan Nyoto melakukan gerakan “Ganyang Malaysia”. Singapura adalah bagian Malaysia. Tiga tentara Indonesia, pada tahun 1965, dikirim untuk membom berbagai tempat vital di Singapura, sebagai upaya penciptaan kepanikan. Harapannya, pembentukan Federasi Malaysia, yang dituduh Sukarno sebagai antek imperialisme Inggris, bisa digagalkan.
Pemboman gedung Mac Donald, perkantoran strategis, dilakukan Serda Usman, Kopral Harun dan Gani. Usman dan Harun ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman gantung. Lalu dipulangkan ke Indonesia. Dimakamkan di taman makam pahlawan. Gani selamat.
Dalam berbagai sejarah dilukiskan Sukarno begitu membenci Singapura, karena mereka dianggap mengeksploitasi pulau Sumatra untuk kemajuannya secara tidak wajar. Wapres Hatta, tidak kalah bencinya dengan Singapura. Dalam sumpahnya, “Mohammad Hatta bersumpah tidak menginjakkan kakinya ke Singapura”, dan Hatta tidak menginjakkan kaki ke sana sampai wafat. Disebutkan Hatta tidak terima dengan hukuman gantung kepada dua tentara Indonesia itu. Oleh pemerintahan SBY nama keduanya dijadikan nama kapal perang dan oleh Jokowi, tahun 2016, di jadikan nama jalan menggantikan jalan Prapatan, di Jakarta.
Ketika Suharto berkuasa, pemulihan hubungan dengan Singapura dilakukan. Indonesia dan Singapura mempunyai kiblat politik yang sama, yakni Amerika dan barat. Sepanjang Suharto berkuasa, hampir tidak ada konflik berarti antara kedua negara.
Barry Desker dalam “The Trouble with Indonesia-Singapore Relations”, The Diplomat, 2015, mengetengahkan tiga hal yang selalu menjdi isu kekinian yang dapat memperburuk hubungan bilateral kita. Pertama adalah masalah asap, yang disebabkan oleh pembakaran hutan dari penjahat pembalak hutan di Riau dan Kalimantan, kedua adalah, masalah “air-space”, yakni kontrol penerbangan wilayah di atas Singapura dan beberapa wilayah Indonesia. Dan ketiga adalah masalah “Asset and Corruption”, di mana para koruptor Indonesia, menurut pihak Indonesia, mendapatkan tempat terhormat di Singapura.
Memang kita mengalami kegagalan juga dalam hal koruptor-koruptor di atas, sebab budaya korupsi merupakan kesalahan kita sendiri. Namun, menggunungnya uang yang disimpan segelintir elite Indonesia di Singapura, yang mayoritas tidak jelas asal usulnya, tentu menjadi sumber kebencian laten, yang terpelihara bagi hubungan kedua negara.
Fakta sifat kelatenan itu terjadi sebagai berikut, pada saat Indonesia mengklaim beberapa prestasi dalam perundingan kontrol “air-space” beberapa waktu lalu, rakyat Indonesia tidak begitu peduli. Namun, ketika penolakan ulama Indonesia, UAS, masuk ke Singapura, berbagai sumpah serapah nitizen terkait Singapura sarang/surga koruptor Indonesia, menjadi trending pembicaraan. Sedikit saja perasaan Bangsa Indonesia tersinggung, hal laten ini muncul kepermukaan.
Problem yang terkait dengan UAS adalah Islamophobia. Kebencian terhadap Islam. Ini di luar pembahasan Desker di atas. Hal ini tentunya bukanlah hal baru di Indonesia. Gerakan Islamophobia berkembang bersamaan dengan penjajahan Belanda, khususnya ketika Snouck Hurgronje dan Van Der Plass melancarkan taktik melumpuhkan “Islam politik”. Namun, dalam konteks sejarah kedua bangsa, isu Islamophobia belum pernah terjadi. Saat ini, ketika PBB, Amerika dan barat secara umum melakukan gerakan anti-Islamophobia, Singapura malah terjebak dengan hal itu. Ini akan menjadi beban besar bagi hubungan Indonesia dan Singapura ke depan, tentunya.
Pertanyaan besar bagi Singapura adalah kenapa Singapura tidak memi-“block” Jokowi untuk masuk ke Singapura, padahal Jokowi membuat nama Usman dan Harun sebagai nama jalan? Bukankah dalam versi Singapura keduanya adalah teroris? Atau terhadap SBY yang menyematkan kedua tentara tersebut sebagai nama kapal perang? Kenapa Somad yang menyinggung bom bunuh diri di Palestina, bukan di Singapura, malah menjadi persoalan?