MUHASABAH

Unjuk Rasa, Tak Ada Larangan Syar’i

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, unjuk rasa atau demonstrasi adalah pernyataan protes yang dilakukan secara massal.

Negara-Negara penganut sistem demokrasi, unjuk rasa atau demonstrasi bukan barang haram. Aneh jika ada himbauan melarang, mencegah atau menghalang-halangi orang yang berunjuk rasa. Negara bahkan wajib memberi perlindungan hukum agar demonstrasi berjalan tertib dan aman. Rakyat diberi tempat untuk menyalurkan aspirasi politiknya sebagai bukti bahwa Negara menjamin kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara.

Pernyataan protes dalam sistem politik Islam merupakan salah satu bentuk muhasabah dan nasihat. Rasulullah bersabda:

الدين النصيحة، لله ولرسوله و لائمة المسلمين و عامتهم

Agama adalah nasihat, untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin, dan kaum muslimin seluruhnya. (HR.Bukhari).

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bariy mensyarah hadits tersebut mengatakan, bahwa nasihat yang paling besar untuk para pemimpin kaum muslimin adalah menolak kezaliman dan ketidakadilan mereka, serta mengingatkan akan kelalaian mereka.

Muhasabah berupa nasihat, teguran, koreksi, kritik dan protes terhadap perilaku penguasa, dalam Fiqih Siyasah Syar’iyah (Politik Islam) disebut Muhaasabatul Hukkam. (Dr. Mahmud Abdul Majid al-Khalidiy, Qawa’id Nidzam Al- Hukm Fil Islam).

Mu’adz bin Jabal adalah pejabat negara yang diangkat oleh Rasulullah menjadi imam shalat dan ditugaskan sebagai Gubernur Yaman, pernah mendapat protes dari jamaah masjid hanya karena bacaannya dalam shalat terlalu panjang. Kasus ini ditanggapi serius oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah menerima pengaduan kaum muslimin, Rasulullah pun menegurnya: Ya Mu’adz, a-fattaanun anta? Wahai Mu’az apakah engkau mau menjadi pemfitnah.? (HR.Bukhari)

Dalam peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mendapat protes secara demonstratif dari para Sahabat. Saat itu jumlah sahabat yang ikut umrah bersama Rasulullah mencapai 1500 orang.

Instruksi Rasulullah agar seluruh yang hadir segera bertahallul, memotong hewan kurban dan mencukur rambut, tak serta merta diikuti oleh para Sahabat. Tindakan ini sebagai sikap protes mereka terhadap beberapa klausul perjanjian yang dinilai sangat merugikan pihak kaum muslimin. Klausul yang paling mendapat sorotan adalah: Jika ada orang muslim Makkah yang datang ke Madinah, dia harus ditolak dan segera dikembalikan ke Makkah.

Adalah Abu Jandal bin Suhail datang dengan merayap-rayap dari balik bukit kota Makkah, lalu merebahkan dirinya di tengah-tengah kaum muslimin dalam keadaan berdarah-darah dengan tangan diborgol. Maksud kedatangannya untuk bergabung dengan para sahabat dan berharap bisa ikut kembali ke kota Madinah bersama jamaah umrah. Namun pemintaannya ditolak mentah-mentah oleh Suhail bin Amr yang bertindak selaku juru runding kaum kafir Quraisy. “Ini adalah kasus pertama yang aku perkarakan kepadamu” kata Suhail menolak permintaan Rasulullah.

Suhail ayahanda Abu Jandal lalu menampar wajah Abu Jandal, memegang kerah bajunya, dan menyeretnya untuk dikembalikan kepada kaum musyrikin Makkah. Abu Jandal pun berteriak-teriak minta tolong: “Wahai kaum muslimin, apakah kalian rela aku dikembalikan kepada orang-orang musyrik yang akan menggoda agamaku (Islam).?
Betapa iba hati para sahabat menyaksikan saudaranya seiman dan seaqidah diperlakukan seperti itu, namun mereka tak dapat berbuat apa-apa. Rasulullah pun hanya menasihatinya untuk bersabar, karena perjanjian damai baru saja usai ditanda tangani.

Melihat itu Rasulullah masuk kedalam kemah menemui istrinya Ummu Salamah, menyampaikan apa yang terjadi pada diri para sahabat di luar kemah, dimana tak ada seorangpun yang merespon dan bergerak untuk tahallul mengikuti perintah Rasulullah.

Berkata Ummu Salamah: Tak perlu kau risaukan wahai Rasulullah, keluarlah dan potonglah hewan kurbanmu, kemudian carilah orang yang mencukur rambutmu, tanpa kau berbicara sepatah katapun dengan mereka. Para sahabat barulah sadar setelah menyaksikan Rasulullah bertahallul, lalu satu persatu mereka bertahallul. (HR.Bukhari, Muslim)

Kisah Perjanjian Hudaibiyah ini sudah cukup menjadi hujjah tentang tidak ada larangan syar’iy melakukan unjuk rasa atau muhasabah secara massal terhadap penguasa.

Seandainya cara protes seperti ini dilarang oleh syariat, tentu Rasulullah akan menegur langsung para sahabat. Apalagi Umar bin Khaththaab ra, sudah lebih dahulu menyampaikan protesnya sebelum mogok massal dilakukan. Namun Rasulullah dengan tegas meyakinkannya bahwa penanda tanganan perjanjian damai ini tidak atas kehendaknya sendiri, tapi atas petunjuk dan bimbingan Allah, kata Beliau:

اني رسول الله، و لست أعصيه، و هو ناصري

Aku Rasul utusan Allah, aku tidak menyalahi perintah-Nya, dan aku yakin Dia menolongku

Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Siddiq dan Khalifah Umar radhiyallahu anhuma, keduanya menyadari betul bahwa menjadi seorang pemimpin wajib dikoreksi dan siap menerima teguran dari siapapun. Oleh karena itu pada saat dinobatkan menjadi Khalifah, masing-masing meminta untuk dikoreksi bila ditemukan adanya penyimpangan dalam menjalankan roda pemerintahan.

Dalam pidato kenegaraan pada hari pembaiatannya, Khalifah Umar berkata:

من رأي في اعوجاجا قوموني

“Siapa yang melihat ada penyimpangan yang aku lakukan, luruskanlah aku”

Segera berdiri salah seorang yang hadir seraya berkata :

والله، لو رأينا فيك اعوجاجا لقومناه بحد سيوفنا

“Demi Allah, jika kami lihat ada sesuatu yang tidak beres pada dirimu, akan kami luruskan dengan mata pedang kami.”

Umar membalasnya dengan senyum sambil berkata :

الحمد لله الذى جعل في امة محمد صلي الله عليه و سلم – من لو رأي في عمر اعوجاجا قومه بسيفه.

“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan dalam tubuh umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada orang yang melihat sesuatu yang bengkok pada diri Umar, ia luruskannya dengan pedangnya.”

Tidak berhenti pada ucapan dibibir. Dalam sebuah forum terbuka, baru saja Umar mengawali pidatonya dengan ucapan hamdalah dan shalawat, ia berkata : ayyuhan-naas, isma’uu wa athi’uu Dengarkan dan ta’ati wahai manusia!. Tak diduga seorang Arab Badui menginterupsi : La sam’a wa La tha’ata al yauma yabnal Khaththaab!. Tidak ada taat dan tidak ada yang didengar hari ini, wahai putra Khaththaab ! Ada apa tanya Umar keheranan.

Si Badui berkata : Kita baru kembali dari peperangan, dan kita semua mendapat jatah sehelai kain baju, kami lihat hari ini engkau memakai jubah baru, dari mana kau dapati dua helai kain? Kritik yang bernada tuduhan itu dijawab singkat oleh Umar : Wahai Abdullah, berdiri dan jelaskan. Ibnu Umar sang putra bangkit menjelaskan: “Benar bahwa kita semua mendapat jatah kain yang sama, aku lihat jatah ayahku tidak cukup untuk bisa memiliki jubah baru, maka jatah buatku, aku berikan kepada ayahanda agar ia bisa mempunyai baju yang lebih layak.” Sergap si Arab Badui, “silahkan lanjutkan pidatomu wahai Khalifah, kami dengar dan kami taati !”

Pada kesempatan lain di hadapan publik yang dihadiri oleh kaum lelaki dan wanita, Umar menyerukan agar perlu ada pembatasan mas kawin bagi wanita yang akan menikah. Seorang wanita tua yang berada di shaf paling akhir, dengan suara lantang berseru : Yabnal Khaththaab ! Allah azza wa jalla yu’thiina bil qinthaar wa anta turiidu an tuhaddidal muhuur? Allah azza wa jalla memberi kami harta tak dibatasi, lalu engkau ingin membatasinya? Biarkanlah, mereka semua lebih mengetahui tentang hak mereka sebagai seorang wanita.

Kepala Negara tak merasa tersinggung dengan protes seorang wanita tua di hadapan publik. Dan Umarpun dengan lapang dada menarik kembali pernyataannya.

Jika koreksi yang dilakukan dalam forum terbuka seperti ini, dianggap melanggar syariat agama, tentu Umar tidak akan berdiam diri melihat kemungkaran yang terjadi di hadapan matanya, tanpa berupaya untuk menegur rakyatnya. Tidak pula terdengar berita miring bahwa ada aparat negara yang diinstruksikan untuk menangkap para pelaku yang telah mempermalukan Kepala Negara di depan umum. Arab Badui dan wanita tua pun di kemudian hari tidak pernah bercerita bahwa mereka diintimidasi dan ditekan karena menuduh Khalifah dan mengeritiknya di depan umum. Apakah Umar tidak tahu hukum, bahwa Rasulullah melarang umatnya untuk mengeritik atau memprotes pemimpin mereka secara terbuka di hadapan publik. Justru Rasulullah memberi motivasi dan semangat untuk bermuhasabah kepada para penguasa :

ان اعظم الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر، و رواه النسائي بلفظ :
افضل الجهاد كلنة حق عند سلطان جائر .

Sesungguhnya jihad yang paling besar adalah berkara benar di hadapan penguasa yang zalim (HR.Turmudzi, Ibnu Majah dan Abu Daud) Bahkan yang mati terbunuh ia digolongkan dengan Sayyid Asy-Syuhada, Pemimpin para syuhada (HR.Thabrani).

Unjuk rasa atau muhasabah dalam bentuk apapun dilarang keras bertindak anarkis karena itu hukumnya haram. Dalam suasana perang pun tidak boleh berlaku anarkis apalagi dalam suasana damai. Pesan Rasulullah Saw saat melepaskan para mujahidin ke medan perang: Jangan membunuh lansia, jangan membunuh anak kecil, para wanita, rahib dan pendeta penghuni biara dan tempat ibadahnya, jangan mencincang mayat, menebang pohon, merusak tanaman dan bangunan, membakar, dan membunuh hewan ternak kecuali untuk dimakan. (Nailul Authaar Bab Jihad).

Adanya riwayat bahwa menasihati pemimpin hendaknya dilakukan secara diam-diam, hanyalah salah satu cara dalam memberi nasihat, dan bukan satu-satunya cara.

Wallahu a’lamu bish-shawaab.

KH. Muhammad Abbas Aula
Pengasuh Pesantren Al-Quran wal Hadits Bogor, Waketum BKsPPI

Artikel Terkait

Back to top button