Urgensi Pendidikan Keluarga
Bahkan hal ini dilukiskan secara jelas dalam Al-Qur’an. Allah berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
Kedua, konstitusi aturan negara mengafirmasi pendidikan keluarga. Bila kita membaca Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, di situ sangat jelas bahwa tujuan pendidikan nasional adalah melahirkan peserta didik atau generasi yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Di samping itu mandiri, produktif, toleran, peduli, cinta tanah air dan bertanggungjawab.
Namun untuk mencapai itu, tidak cukup diserahkan kepada pendidikan formal, tapi mesti melibatkan pendidikan non formal dan informal.
Sebelum adanya pendidikan formal, pendidikan keluarga sudah menjadi lembaga pendidikan yang secara kultural dan sejarah sudah berpengalaman dalam menjalankan peran pendidikan anak.
Tak sedikit para tokoh pejuang dan ulama yang melalui proses ini sehingga kelak mereka menjadi sosok yang layak kita teladani.
Dengan begitu, pendidikan keluarga semakin menemukan relevansinya. Bukan saja karena perintah agama tapi juga kewajiban negara.
Ketiga, tantangan zaman yang semakin kompleks dan nyaris tak terprediksi. Angka anak-anak yang terlibat tindakan kriminal: minuman keras, begal, seks bebas dan serupanya sangat mengerikan.
Pemberitaan media massa dan penemuan berbagai lembaga penelitian terkait dengan permasalahan remaja, misalnya, membuat kita tercengang betapa anak-anak dalam usia yang masih belia itu sudah terlibat dalam tindakan yang tak seharusnya mereka alami.
Dalam kondisi demikian, kita tidak bisa mengandalkan seratus persen lembaga pendidikan formal yang dari sisi waktu hanya 6-8 jam.
Padahal sebagian besar waktu atau sekitar 16-18 jam anak berada di rumah. Maknanya, mestinya proses pendidikan anak yang dominan bahkan pertama dan utama adalah di rumah atau pendidikan keluarga.
Orangtua tidak boleh lagi terjebak pada pemahaman keliru, misalnya, menjadi lembaga pendidikan formal sebagai satu-satunya lembaga pendidikan anak.