Usai Pilpres 2024 Presiden Lama Laksana ‘Bebek Lumpuh’, Apa Maksudnya?
Jakarta (SI Online) – Cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra mengatakan jeda waktu yang lama dari Pemilihan Presiden 14 Februari 2024, hingga pelantikan presiden terpilih 20 Oktober 2024 akan menciptakan keunikan dalam sistem pemerintahan.
Mardi menjelaskan, keanehan itu adalah Indonesia seakan memiliki ‘dua’ Presiden, yakni presiden yang masih menjabat, dan Presiden terpilih, hasil Pilpres.
Dalam situasi itu, kata Azyumardi saat berbicara dalam Webinar Moya Institute bertajuk “Pemisahan Pilpres dengan Pileg”, presiden yang sedang menjabat tak ubahnya seperti Lame Duck atau ‘bebek lumpuh’.
“Yang dimaksud di sini sebagai ‘bebek lumpuh’, adalah presiden yang sedang menjabat tak bisa lagi mengeluarkan kebijakan yang efektif dan strategis, karena sudah ada presiden dan wakil presiden baru, meskipun belum dilantik,” kata Azyumardi, seperti dilansir ANTARA, Sabtu (25/06/2022).
Apalagi, lanjut Azyumardi, apabila pascapemilu terjadi gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian MK mengesahkan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden hasil Pilpres 2024, maka legitimasi presiden terpilih menjadi lebih kuat lagi.
Sebaliknya, untuk presiden yang sedang menjabat, akan semakin menjadi “bebek lumpuh”. Situasi semacam itu, lanjut Azyumardi akan mengakibatkan kevakuman pemerintahan selama delapan bulan, atau bisa juga berpotensi terjadi disorientasi pemerintahan.
Namun, Azyumardi menyadari keputusan itu susah diubah, sehingga hal tersebut menjadi pelajaran penting bagi para anggota parlemen hasil Pemilu Legislatif 2024.
“Semoga para anggota Parlemen hasil Pileg 2024 nantinya akan memperbaiki hal ini, agar praktik demokrasi kita semakin membaik,” ucap Azyumardi.
Direktur Eksekutif SMRC Sirojuddin Abbas membenarkan bahwa segera setelah pilpres, baik putaran satu atau dua, pengaruh atau posisi tawar presiden yang sedang menjabat kemungkinan besar akan menurun di kalangan sekutu politiknya. Periode “lame duck” pun akan terjadi selama 8 atau 4 bulan.
“Pada saat itulah sekutu politik akan pergi ke pemenang atau presiden terpilih. DPR juga mulai tidak responsif terhadap keinginan presiden petahana,” kata Sirojudin.
Pengaruh lainnya, lanjut Sirojudin adalah penurunan pengaruh presiden yang menjabat di organisasi pemerintahan, terutama di kementerian yang dipimpin dari kalangan berlatar-belakang parpol. Kerja birokrasi pun menjadi terhambat.