Usamah Hisyam, Lahir dan Tumbuh di Lingkungan Pergerakan Islam
Terlahir di Surabaya, 14 Mei 1963, dari pasangan orang tua Haji Hisyam Yahya dan Hj Nurul Huda, Usamah Hisyam tumbuh dan besar di lingkungan aktivis pergerakan Islam. Ayah Usamah berprofesi sebagai pengusaha penyalur gula pasir dan tepung terigu di Surabaya.
Semua profesi dan aktifitas yang dilakukan Usamah saat dewasa, tak bisa dilepaskan dari lingkungan pergaulannya di kawasan Masjid Mujahidin, Jl. Perak Barat No.275 Perak Utara, Pabean Cantian, Surabaya. Rumah keluarga besar Usamah berada di depan Masjid yang turut dibangun oleh kakeknya Haji Muhammad Yahya. Ayah Usamah pun pernah memimpin yayasan masjid ini. Sekarang, kepemimpinan Yayasan Masjid Mujahidin Surabaya dipegang paman Usamah, KH Hasyim Yahya.
“Saya sejak kecil belajar ngaji di Masjid Mujahidin itu. Jadi saya shalat Shubuh itu bukan dari sekarang. Umur empat tahun saya dipecut bapak saya untuk berangkat ke masjid. Shubuh itu wajib, sudah makanan tiap hari, tinggal nyebrang rumah,” kenang Sekretaris Nasional Gerakan Shalat Subuh Berjamaah (GISS) ini.
Usamah berkisah, saat duduk di kelas tiga SD Mujahidin, digelar lomba MTQ tingkat Kecamatan Pabean Cantian. Hasilnya, dia juara satu. Sementara juara keduanya adalah Mukhlis Yaya, sepupunya, putra KH Hasyim Yahya yang kini pemilik Inilah.com. “Saya sudah akrab dunia dakwah dari kecil,” katanya.
Di era 70-an, pada awal-awal berdirinya Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), ayah Usamah adalah Ketua PARMUSI Surabaya. Bahkan kemudian menjadi Bendahara PARMUSI Jawa Timur.
“Salah satu donatur PARMUSI Jawa Timur, ayah kandung saya itu,” kata suami Daisyanti Astrilita Siregar ini.
Dalam pergaulan dengan politisi-politisi Nasional dari Masyumi, Usamah bercerita bila kakeknya, Haji Muhammad Yahya, dan kakek La Nyala Matalitti (eks Ketum PSSI, red), HM Yunus Mattalitti, adalah tokoh Masyumi Jatim. Sehingga, ketika tokoh-tokoh Masyumi Pusat seperti Natsir dan Kasman Singodimedjo berkunjung ke Jatim, di rumah kakeknyalah mereka menginap. “Kita ini keluarga Masyumi betul,” ungkap bapak lima anak ini.
Dunia kewartawanan dan media, juga dimulai Usamah sejak kecil, usia Sekolah Dasar. Di Masjid Mujahidin itu pula Usamah kecil menjajakan Majalah Panji Masyarakat.
Memasuki SMA, Usamah pindah ke Jakarta. Ia masuk ke SMAN 36 Rawamangun. Sang ayah sebenarnya tidak setuju dirinya tinggal di ibukota sebagai anak indekos. Namun, anak ketujuh dari 12 bersaudara lulusan SMP Negeri 7 Surabaya ini bersikukuh menetap di ibukota dengan merintis dunia kewartawanan secara mandiri. Saat SMA, Usamah mendirikan majalah sekolah yang diberi nama Kreasi SMA 36 Rawamangun. Lulus SMA, rentang 1984-1989 Usamah menekuni ilmu jurnalistik di Sekolah Tinggi Publisistik (sekarang IISIP), Lenteng Agung.
Sambil kuliah, ia menjadi penulis lepas dan wartawan freelance di sejumlah media. Dengan mengumpulkan honorarium tulisan antara Rp10.000 sampai Rp15.000 per naskah, Usamah membeli sebuah mesin ketik merk Olivetti seharga Rp200.000 sebagai modalnya bekerja. Ia bertekad untuk mandiri.
Dari pekerjaannya sebagai penulis lepas di Harian Minggu Sinar Harapan, Harian Pelita, serta wartawan freelance di Majalah Sportif, dan Majalah Remaja Mitra, Usamah dapat membiayai kuliah dan kehidupannya sendiri.