Ustadz Adi Hidayat, Pakar Al-Qur’an yang Langka
Pendapat UAH tentang kebolehan musik memang membuat heboh kelompok Salafi yang selama ini mengharamkan musik. Mereka mengritik UAH, dari yang halus sampai kasar, tentang arti surat asy Syuara dengan pemusik. Menurut mereka, asy Syuara artinya para penyair tidak bisa diartikan dengan pemusik.
Memang begitulah kelompok Salafi, sering menyandarkan pendapatnya pada para ulama salaf. Tentu ini tidak salah. Tapi yang tidak tepat adalah menutup diri pada pendapat lain, selain ulama salaf itu.
Imam Ghazali menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an itu ada makna lahir dan makna batin. Makna tersurat dan makna tersirat. Pendapat UAH bahwa asy Syuara artinya penyair dan pemusik tidak bisa disalahkan. Karena penyair dekat dengan pemusik. Musik sering mengiringi syair. Jadi disini UAH menyatakan arti yang tersirat dari asy Syuara. (Tentang hukum musik ini bisa dibaca: Seni Musik dalam Islam, Bolehkah?)
Dalam buku Ensiklopedia Islam jilid 4, terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, syair menurut kesusastraan Arab adalah ucapan atau susunan kata yang fasih yang terikat pada Rima (pengulangan bunyi) dan Matra (unsur irama yang berpola tetap) dan biasanya mengungkapkan imajinasi yang indah serta berkesan dan memikat. Dalam tradisi Arab, Penyair adalah pemusik karena syair diucapkan dengan musik Mizhar (semacam alat kecapi).
Pendapat beberapa ustadz Salafi yang menyatakan bahwa arti (asy Syuara pemusik) yang disampaikan UAH itu tidak terdapat dalam tafsir-tafsir ulama salaf, mungkin benar. Tapi bukankah makna dalam Al-Qur’an ada yang tersirat dan kadang makna itu baru ditemukan di zaman kini. Seperti makna ‘al alaq’. makna ‘dzarrah’ dan lain-lain.
Renungkanlah surat asy Syuara ayat 224-227 yang disampaikan UAH ini,
“Para penyair (pemusik) itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah engkau melihat bahwa mereka merambah setiap lembah kepalsuan dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? Kecuali (para penyair) yang beriman, beramal saleh, banyak mengingat Allah, dan bangkit membela (kebenaran) setelah terzalimi. Orang-orang yang zalim kelak akan mengetahui ke mana mereka akan kembali.”
Makanya tidak tepat kita hanya mengikuti ulama salaf saja. Pendapat yang tepat adalah kita mengikuti ulama salaf dan khalaf yang shalih. Mengikuti ulama dulu dan ulama kini yang shalih.
Dalam hal ini penulis ingat perkataan Sayidina Ali bahwa Islam itu mengatasi zaman. Ijtihad-ijtihad baru diperlukan, agar kehebatan Islam terbukti mengatasi zaman. Dan disinilah perlunya kita banyak baca, hingga kita tidak gampang mencap seseorang kafir, sesat dan lain-lain. Wallahu alimun hakim. []
Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik Islam