OPINI

Ustaz Abdul Somad (UAS)

“…kalau bapak duduk nanti jadi presiden, terkait dengan saya pribadi, dua saya bilang. Pertama jangan bapak undang saya ke istana, biarkan saya berdakwah masuk ke dalam hutan, karena memang saya dari awal sudah di sana. Saya orang kampung. Saya masuk dari hutan ke hutan. Yang kedua, jangan bapak beri saya jabatan apapun”.

Demikian cuplikan dari ucapan Ustad Abdul Somad (UAS) ketika berdialog dengan calon Presiden Prabowo Subianto (02), yang disiarkan TVOne tempo hari (11/04/19). Saya merinding. Bukan semata karena ikut larut dalam “dialog sunyi” itu. Bukan juga karena melihat seorang “Jenderal (purnawirawan) Lapangan” yang berurai air mata karena ungkapan tersebut. Tapi, ada semacam aura yang menembus keluar dari layar kaca. Sesuatu yang misterius.

Sejurus imajinasi saya berziarah ke dalam sejarah, ke dalam berbagai kisah tokoh-tokoh besar di masa lalu. Bukankah banyak tercatat dalam riwayat, ulama yang tidak tergoda oleh tahta, tidak hirau pada harta. Alih-alih mengendap-endap ke istana menjilati ranum anggur kuasa, mereka justeru mencampakkannya. Mereka sadar benar, maqam ulama tidak di istana, bahkan di dekatnya sekalipun. Dan UAS memotong ruang yang menghubungkannya: “jangan bapak undang saya ke istana!”

Sudah lama bibir kita kering berbincang tentang bagaimana seharusnya relasi yang sejatinya terbangun antara ulama dan umara. Ulama memahami kuasa untuk tidak terlibat di dalamnya. Umara memahami ulama untuk tidak menariknya ke istana. Ketimbang terlibat dalam kuasa, sejatinya ulama meletakkan kuasa di bawah daulat kakinya. Ketimbang menarik ulama ke pusaran kuasa, seyogyanya umara meletakkan ulama di atas kepalanya. Tapi, itu semua sering hanya menjadi persoalan bahasa belaka.

UAS sekonyong-konyong muncul dari belantara jargon bahasa sedemikian. Ia letakkan kembali martabat ulama pada maqamnya. Ia datang kepada kuasa bukan untuk terlibat, melainkan untuk memberikan amanat. Dititipkannya pesan simbolik: tasbih dan minyak wangi. Berdzikirlah wahai umara. Dan sebarkan wangi dzikir itu kepada rakyatmu. Saya merinding. Dari dialog tersebut memancar martabat, sejatinya demikianlah wibawa ulama. Barangkali karena itu pula, seorang jenderal lapangan tidak berdaya menahan air mata.

Andai yang mengucapkan bukan UAS, mungkin saja auranya tidak sedasyat demikian, paling tidak buat saya. Mengapa? Sebab UAS bukan sekedar bicara. Kita semua tahu belaka, beberapa bulan sebelumnya UAS menolak dengan tegas tawaran menjadi cawapres. Tawaran itu bukan hanya isapan jempol. Saat itu, UAS cuma butuh menjentikkan ujung jari untuk melenggang ke pusaran wacana kuasa.

Tapi, tidak. Ustad muda itu melompat melampaui usianya: masuk ke dalam goa kesucian hati, menghentakkan rasio yang banal. Ia seperti telah menemukan sebuah kalimat: “salah satu tempat bersemayamnya godaan adalah pikiran”. Bukankah hanya akal yang bisa memberi kesan Yang-Salah menjadi seolah-olah Benar. Ketika Allah berfirman bahwa manusia dibekali akal untuk melawan iblis, sepertinya iblis sadar, akal pula yang mesti menjadi sasaran utama serangannya. UAS tidak mau mengakali nuraninya.

Dan Jenderal lapangan itu menangis. Betul kata penyair, “Kopi yang diseduh dengan hati, manisnya akan sampai ke hati”. Tentu saja, kopi demikian tidak akan pernah sampai kepada yang tidak punya hati.

Acep Iwan Saidi
Pakar Semiotika ITB Bandung

Artikel Terkait

Back to top button