UU Cipta Kerja, Ilusi Rakyat Sejahtera
Kembali rakyat marah dan kecewa, Pemerintah dan DPR telah mengesahkan UU Cipta Kerja, Senin 5 Oktober 2020. Padahal sebelumnya telah banyak kritikan dan penolakan terhadap pengesahan RUU, namun nyatanya pemerintah dan DPR bergeming.
Pengesahan ini pun disetujui oleh tujuh fraksi yakni PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra,PKB PAN, Nasdem dan PPP. Sementara Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat menyatakan penolakan terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja. Lantaran hal ini, gelombang protes bermunculan dari berbagai kalangan, aksi unjuk rasa pun digelar di beberapa daerah di Indonesia, mereka bersatu menuntut agar UU ini dicabut kembali karena merugikan rakyat.
Kata omnibus law pertama kali dimunculkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato Sidang Paripurna MPR RI dalam rangka Pelantikan Presiden dan Wapres Terpilih Periode 2019-2024 bahwa akan menyederhanakan regulasi dengan menerbitkan dua undang-undang besar yaitu UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM.
RUU Cipta Kerja berisi 1028 halaman. Draft tersebut memangkas dan menyederhanakan aturan sejumlah 1244 pasal dari 81 UU terkait investasi. RUU Omnibus Law Cipta Kerja berisi 11 klaster, yaitu: (1) penyederhanaan perizinan tanah, (2) persyaratan investasi, (3) ketenagakerjaan, (4) kemudahan dan perlindungan UMKM, (5) kemudahan berusaha, (6) dukungan riset dan inovasi, (7) administrasi pemerintahan, (8) pengenaan sanksi, (9) pengendalian lahan, (10) kemudahan proyek pemerintah dan (11) Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Padahal sejak Januari 2020 wacana UU Cipta kerja sebenarnya sudah banyak yang menolak karena beberapa pasal di dalamnya menjadi sorotan. Dilansir dari Kompas.com, beberapa poin yang dikritik dan ditengarai merugikan adalah
Pertama, penghapusan upah minimum. Penghapusan Upah minimum kota (UMK) diganti upah minimum provinsi (UMP) Penghapusan itu dinilai membuat upah pekerja lebih rendah. Padahal, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum.
Kedua, Jam lembur lebih lama. Dalam draf omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu. Ketentuan jam lembur itu lebih lama dibandingkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebut kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu.
Ketiga, Kontrak seumur hidup dan rentan PHK Dalam RUU Cipta Kerja salah satu poin Pasal 61 mengatur perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Sementara, Pasal 61A menambahkan ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir. UU Cipta Kerja juga tak lagi menyebutkan batas waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pegawai kontrak, seperti dalam Pasal 59 ayat 4. Dalam pasal itu, hanya disebutkan ketentuan mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan PKWT diatur dengan peraturan. Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, batas waktu perpanjangan PKWT paling lama adalah dua tahun, dan hanya bisa diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Dengan aturan ini, RUU Cipta Kerja dinilai merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan. Sebab, jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang berpotensi membuat status kontrak pekerja menjadi abadi. Bahkan, pengusaha dinilai bisa mem-PHK pekerja sewaktu-waktu.