UU Minerba: Untung bagi Korporasi, Buntung untuk Anak Negeri
Ketok palu pengesahan RUU Minerba menjadi UU Minerba menuai polemik. Pemerintah dan DPR dianggap terlalu terburu-buru dalam mengesahkannya. Tidak melibatkan aspirasi rakyat. Memanfaatkan pandemik untuk mengesahkan RUU kontroversi dalam senyap dan diam. Meski RUU itu sebelumnya banjir kritik, rupanya ambisi pengesahan RUU Minerba tak terbendung lagi.
Ketua Panja RUU Minerba, Bambang “Pacul” Wuryanto, saat rapat kerja virtual Komisi VII DPR TRI bersama pemerintah, Senin (11/5/2020) dihujani pesan WhatsApp yang berisi penolakan terkait RUU Minerba. Publik menolak keras pengesahan RUU Minerba. “Kalau enggak cocok, lakukan judical review. Enggak perlu memborbadir WhatsApp ke anggota Panja. Mohon maaf. Enggak perlu teror.” Kata Bambang.
Apakah memang semudah itu ketika UU disahkan, kalau tak suka bisa judicial review? Bukankah DPR sebagai lembaga penyampai aspirasi rakyat semestinya mempertimbangkan suara-suara rakyat? Jika rakyat menolak, tapi tetap ngotot disahkan, bukankah sama halnya mengkhianati sumpah jabatannya sebagai wakil rakyat? Kalau begitu, DPR sesungguhnya mewakili siapa?
Salah satu penggerak Jeda untuk Iklim Makassar, Andi Budi Saisar, menegaskan, UU Minerba merupakan produk hukum yang cacat. Menurut Andi, naskah akademis dan draft RUU terkesan ditutupi. Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah, mengatakan pemerintah secara sadar telah memberikan jaminan untuk melindungi keselamatan elite korporasi, tetapi tidak bagi lingkungan hidup dan rakyat.
Pasal Kontroversi
Penolakan dari berbagai kalangan adalah wajar. Sebab, terdapat beberapa pasal kontroversi yang diduga lebih mewadahi kepentingan korporat tambang dan batu bara ketimbang rakyat dan lingkungan. Dikutip dari tempo.co, 13/5/2020, inilah diantara pasal yang menuai kontroversi:
Pertama, pasal 1 ayat 13a yang berisi ada ketentuan baru bernama Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB), yakni izin yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan usaha pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu. Pasal ini dinilai membuka ruang rente baru.
Kedua, pasal Pasal 1 ayat 28a. Pasal ini mengatur bahwa Wilayah Hukum Pertambangan adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen. Definisi baru ini disinyalir mengancam ruang hidup masyarakat.
Ketiga, pasal 4 ayat 2. Pasal ini mengatur bahwa penguasaan mineral dan batu bara diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Sentralisasi yang berpotensi terjadi konflik kepentingan antara penguasa dan pengusaha tambang.
Keempat, Pasal 22 huruf a dan d tentang kriteria menetapkan WPR telah membuka ruang bagi penambangan di sungai dengan luas maksimal 100 hektar, setelah mengubah luas maksimal sebelumnya 25 hektar.
Kelima, pasal 42 yang memudahkan pengusaha tambang menguasai lahan untuk keperluan eksplorasi dalam jangka waktu yang lama.
Ada pasal 162 dan 164 yang berpeluang mengkriminalisasi warga penolak tambang. Dihapusnya pasal 162 didalam UU Minerba lama tentang sanksi pidana pejabat yang korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Lalu ada pasal 169 A dan B yang membuka celah celah perpanjangan sejumlah perusahaan raksasa minerba yang akan selesai masa kontraknya.