SUARA PEMBACA

Panggung SCBD, Busur Panah Kapitalisasi

Belakangan ini, nama Jeje, Bonge, Kurma, dan Roy tengah naik daun. Hampir semua tayangan TV mengundangnya, pun media online memberitakannya. Ya, mereka adalah para remaja yang menjadi ikon dalam Citayam Fashion Week.

Citayam Fashion Week sendiri merupakan aksi peragaan busana di zebra cross yang dilakukan oleh para remaja di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Mereka rata-rata berasal dari Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok. Makanya, kerap mereka dilabeli sebagai remaja SCBD.

Diketahui para remaja tersebut memang kerap kali nongkrong di kawasan Jalan Sudirman secara bergerombol. Sampai akhirnya mereka membuat aksi berjalan bak model di zebra cross sambil memakai pakaian yang nyentrik. Kemudian aksi tersebut mereka jadikan konten untuk diunggah ke media sosial dengan nama Citayam Fashion Week. Unggahan tersebut pun viral dan Citayam Fashion Week menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Tak ketinggalan, para pejabat, influencer, bahkan artis pun ikut beraksi di panggung Citayam Fashion Week.

Pemerintah pun ikut mendukung dengan alasan bahwa kegiatan tersebut merupakan wujud kreativitas anak-anak muda penyangga ibu kota. Bahkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno, sangat mengapresiasi kegiatan tersebut, karena dianggap sebagai subsektor ekonomi kreatif di bidang fashion yang dapat dapat berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. (Pikiranrakyat.com, 26-07-2022)

Presiden Jokowi pun merespons kegiatan Citayam Fashion Weeks sebagai sesuatu yang positif, selama tidak melanggar aturan maka tidak perlu dilarang. Senada dengan hal tersebut, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, juga mengatakan bahwa para remaja bisa berkunjung kapan saja dan beraktivitas tanpa harus mendapatkan izin terlebih dulu. (Suara.com, 23-07-2022)

Ancaman di Balik Panggung SCBD

Viralnya Citayam Fashion Week menuai kontroversi, ada yang mendukung, ada pula yang tidak. Bagi kalangan yang tidak mendukung, mereka menganggap keberadaan para remaja itu meresahkan karena menimbulkan kemacetan parah. Namun, kalangan ini seolah tak berdaya sebab terbawa mindset bahwa mereka sah-sah saja berekspresi di ruang publik. Apalagi, dukungan dari para pejabat sudah kantongi.

Namun, sejatinya kita harus mampu membaca ancaman yang menyelubungi fenomena tersebut. Jangan sampai kita terpedaya oleh tren populer, namun abai akan ancaman yang mengintai di baliknya.

Jika kita menilik lebih dalam, sesungguhnya di balik gemerlap panggung SCBD ada busur panah kapitalisasi yang tengah dibentangkan. Betapa tidak, kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi yang berorientasi pada keuntungan materi takkan begitu saja melewatkan momentum viralnya panggung SCBD tersebut. Salah satu buktinya adalah ada pihak-pihak yang berupaya mempatenkan nya dengan mendaftarkannya sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) ke Pangkalan Data Kekayaannya. Intelektual (PDKI) Kemenkumham.

Tak hanya itu, terdapat perbedaan sikap penguasa terhadap fenomena Catwalk jalanan SCBD tersebut dengan para remaja yang mengaji di pinggir jalan sebagaimana yang sempat viral beberapa waktu lalu. Meski sama-sama menggunakan ruang publik yang katanya milik umum, nyatanya pemerintah merespons negatif kelompok remaja yang mengaji tersebut dengan anggapan menggangu pengguna jalan. Sebaliknya, pada remaja SCBD, pemerintah mengapresiasi dan tidak melarang sama sekali. Lantas, tidaklah berlebihan jika kita akhirnya meraba adanya keuntungan materi yang akan didapat dari panggung SCBD. Ya, busur panah kapitalisasi tengah diarahkan oleh para elite di tengah hiruk-pikuk viralnya remaja SCBD tersebut.

Beginilah kapitalisme bermain cepat di setiap momentum. Padahal di sisi lain, ada masa depan generasi yang dipertaruhkan. Bagaimana tidak, mereka disibukkan mengejar eksistensi, sementara pendidikan diabaikan. Cuan oriented tampaknya tengah benar-benar membekap benak generasi hari ini. Buktinya, salah seorang ‘artis’ Citayam Fashion Week viral diberitakan menolak mentah-mentah beasiswa pendidikan dari Pak Menteri. Alasannya, sekolah belum tentu mendapat pekerjaan. Ia lebih memilih menjadi content creator yang sudah nyata menghasilkan cuan. Sungguh ironis!

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button