Viral S-Line: Dosa Jadi Tren, Aib Jadi Konten

Tren S-Line sedang viral. Sebuah garis merah di atas kepala, melambangkan seseorang pernah berzina. Ironisnya, filter yang lahir dari drama Korea ini justru dijadikan mainan. Alih-alih merasa malu, banyak remaja Indonesia menggunakannya dengan bangga. Ini bukan sekadar tren konyol. Ini adalah puncak dari tumpukan persoalan besar yang menggerogoti arah hidup generasi.
Bagi yang masih berpikir ini cuma lucu-lucuan, mari buka mata. Kita sedang menyaksikan bagaimana dosa bukan lagi diratapi, tapi dipertontonkan. Aib bukan lagi ditutupi, tapi malah dipamerkan. Rasa malu? Sudah lama mati, diganti dengan “bebas berekspresi”.
Mengapa ini bisa terjadi?
Jawabannya sederhana tapi dalam: karena kita hidup dalam sistem sekular yang memisahkan agama dari kehidupan. Pendidikan tak lagi membentuk kepribadian bertakwa, hanya mencetak manusia kompeten secara akademik, tapi kosong secara ruhiyah. Media tak lagi mendidik, tapi hanya mengejar trafik dan sensasi. Negara pun tak peduli, karena kebebasan berekspresi menjadi hukum tertinggi meski yang diekspresikan adalah kehancuran moral.
Beginilah wajah masyarakat sekular kapitalistik. Semua hal diukur dari untung-rugi materi. Nilai, akhlak, bahkan kehormatan wanita bisa dinegosiasi asal viral. Maka tak heran, zina dinormalisasi, aurat diumbar, aib dipermak jadi konten.
Sementara Islam punya pandangan yang jauh berbeda. Islam menempatkan iffah (kehormatan diri) sebagai perkara yang agung. Zina adalah perbuatan keji yang merusak keturunan, menghancurkan keluarga, dan mengundang murka Allah. Dalam sistem Islam, negara bukan hanya menghukum pelaku zina, tapi juga membina masyarakat agar tak tergelincir ke arah sana melalui kurikulum yang membentuk kepribadian Islam, media yang bersih dari syahwat, dan lingkungan sosial yang terjaga dengan amar ma’ruf nahi munkar.
Sayangnya, sistem itu tidak kita terapkan hari ini.
Kita lebih memilih tunduk pada sistem liberal yang menjadikan kebebasan sebagai tuhan baru. Maka jangan heran jika tren semacam S-Line muncul dan berkembang. Sebab dalam logika sistem ini, selama tidak melanggar hukum positif, semua sah-sah saja.
Sudah saatnya kita sadar, bahwa perbaikan tidak cukup hanya dari seruan moral. Kita butuh perubahan sistemik, dari akar hingga buah. Bukan hanya mendidik individu, tapi juga mengganti sistem rusak ini dengan sistem Islam yang shahih.
Sebab hanya Islam, satu-satunya yang bisa mengatur kehidupan manusia secara utuh: dari pribadi, keluarga, masyarakat, hingga negara berdasarkan wahyu, bukan nafsu.
Selvi Sri Wahyuni, M.Pd