NASIONAL

Wanita Islam Tolak Draft RUU PKS

Jakarta (SI Online) – Organisasi Wanita Islam menilai, kehadiran undang-undang (UU) diperlukan ketika terjadi kevakuman payung hukum dalam penyelesaian suatu masalah yang membuat ada satu atau beberapa elemen masyarakat merasa mendapat perlakuan tidak adil.

Terkait Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), Wanita Islam menilai antisipasi terhadap terjadinya kekerasan seksual tidak mengalami kevakuman hukum. Hal tersebut berdasarkan fakta-fakta berikut:

a. Penghapusan kekerasan seksual secara umum sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
b. Penghapusan kekerasan seksual dalam rumah tangga sudah diatur UU No. 23 Tahun 2004.
c. Penghapusan kekerasan seksual terhadap anak sudah diatur UU No. 23 Tahun 2002 dan UU No. 35 Tahun 2014.
d. Penghapusan kekerasan seksual terkait pornografi sudah diatur UU No. 44 Tahun 2008.
e. Penghapusan kekerasan seksual terkait informasi dan transaksi elektronik (ITE) sudah diatur UU No. 11 Tahun 2008 dan UU No. 19 Tahun 2016.
f. Perlindungan Saksi dan Korban sudah diatur UU No. 13 Tahun 2006 dan UU No. 31 Tahun 2014.

“Jika masih ditemukan celah yang memberi peluang lolosnya pelaku kekerasan seksual dari jerat hukum, tidak serta merta bisa menjadi dasar perlunya pembuatan UU baru dengan alasan untuk pengaturan yang lebih spesifik. Bisa saja penyebabnya karena masih lemahnya kapasitas aparat dan institusi penegak hukum dalam memahami persoalan kekerasan seksual, sehingga yang diperlukan adalah penguatan kapasitas aparat dan institusi penegak hukum bukan perangkat hukumnya,” ujar Ketua Umum Wanita Islam, Marfuah Musthofa dalam pernyataan tertulisnya yang diterima Suara Islam Online.

“Mencermati naskah akademik sampai draft RUU PKS, menurut hemat kami tidak memberi terobosan hukum baru, melainkan hanya mengkompilasi dan mempertajam muatan yang sudah ada dalam beberapa UU sebagaimana disebutkan pada no 2,” kata Marfuah.

Di sisi lain, kata Marfuah, naskah akademik yang dibuat sebagai landasan teori RUU PKS menggunakan perspektif feminis, tanpa diimbangi perspektif agama yang ada di Indonesia. Dengan penggunaan perspektif feminis lebih terasa membenturkan konflik gender dan jenis kelamin dalam relasi laki-laki dan perempuan.

Menurutnya, munculnya kosa kata hasrat seksual seseorang, sebagai salah satu obyek kekerasan seksual menimbulkan tanda tanya karena seakan hendak mengakomodir hasrat seksual dengan sejenis. Sehingga bisa saja kemudian dijadikan sarana kriminalisasi terhadap umat Islam yang sedang mendakwahkan ajaran Islam tentang larangan hasrat seksual terhadap kaum sejenis.

“Dari sini kemudian jadi terasa drat RUU PKS bisa digunakan untuk meredam larangan terhadap hubungan sejenis, karena hal itu bisa dikategorikan sebagai kekerasan seksual, yakni merendahkan hasrat seksual seseorang. Padahal agama Islam yang dianut mayoritas bangsa Indonesia tegas melarang hasrat seksual dengan sejenis” jelas Marfuah.

Pihaknya menjelaskan, jika larangan hasrat seksual dengan sejenis bisa dikriminalisasi, maka secara de facto sama saja dengan melegalkan hasrat seksual dengan sejenis. Karena itu draft RUU PKS ini bisa dianggap menjadi bagian dari tahapan legalisasi perilaku sex menyimpang yang dilakukan secara sistematis.

“Untuk itu draft RUU PKS sebaiknya ditolak dan dihentikan pembahasannya agar tidak membuang energi bangsa dan menghambur-hamburkan anggaran negara,” tegas Marfuah.

red: adhila

Artikel Terkait

Back to top button