INTERNASIONAL

Warga Palestina Hadapi Tembakan Membabi Buta di Lokasi Pembagian Makanan

Investigasi berdasarkan bukti visual, peluru, catatan medis, dan kesaksian menunjukkan adanya pola tembakan berkelanjutan dari Israel.

“Tembakan itu acak,” kata Mohammed Sleiman Abu Lebda (20), penuh perban sambil menonton video dari ranjang rumah sakit. Ia menunggu dua jam di lokasi pembagian makanan ketika militer Israel mulai menembaki kerumunan.

Orang di sebelahnya tewas tercerai-berai; jenazahnya dibawa pergi menggunakan tas yang dibawanya untuk mengambil tepung, kata Lebda.

Dari 21 hari penembakan di lokasi pembagian makanan bulan Juni, sekitar 2.000 warga terluka. Militer Israel mengakui menembak “tersangka” atau “tembakan peringatan” pada delapan kejadian, tapi membantah menargetkan warga sipil.

Chris Cobb-Smith, pakar senjata asal Inggris, menyebut aksi itu “ceroboh dan tidak bertanggung jawab”: “Tidak ada alasan taktis menggunakan tembakan senjata ringan sedekat itu dengan kerumunan non-kombatan.”

Trevor Ball, pakar senjata asal AS, mengatakan jika itu dimaksudkan sebagai tembakan peringatan, caranya tidak aman karena ‘risiko ricochet’ (peluru memantul) dan faktor lain yang bisa mematikan.

Delapan peluru yang diambil dari korban di dekat lokasi GHF dianalisis: dua diidentifikasi sebagai 7,62×51 mm (kaliber standar IDF) dan 50 cal (digunakan oleh senapan mesin IDF dan beberapa senapan sniper Hamas). Semua peluru adalah proyektil kecepatan tinggi, kemungkinan militer.

“Skenario mematikan”

Prof Nick Maynard, ahli bedah di Oxford University Hospital, telah tiga kali bertugas di RS Nasser sejak perang dimulai. Ia melihat pola luka tembak di leher, kepala, atau lengan, dan bahkan empat remaja ditembak di kemaluan pada malam yang sama.

Dr Goher Rahbour juga menangani banyak kasus korban massal, sebagian besar anak laki-laki muda yang kembali dari lokasi GHF.

Di Rafah, RS lapangan Palang Merah menerima lebih dari 2.200 pasien dari 21 insiden korban massal sejak GHF dibuka.

“Mereka menembaki kami”*

Militer Israel menuduh Hamas mencuri bantuan, meski Komisi Eropa menemukan tak ada laporan seperti itu. Sejak awal, distribusi GHF sudah diwarnai kekerasan – lebih dari 400 warga terluka di minggu pertama.

Ameen Khalifa (30) berkata: “Kami datang mencari makanan untuk hidup, tapi pulang berlumuran darah. Kami akan mati karena mencoba mencari makan.” Ia selamat hari itu, tapi ditembak mati dua hari kemudian di tempat yang sama.

Ahmad Zeidan, bocah yang ikut antre semalaman, mengatakan ibunya tewas ditembak saat mengambil bantuan. “Lebih baik jangan pergi,” katanya menangis.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button