Waspada Penyakit Lalai
Sering mengeluh ketika sedang diuji dan jarang bersyukur ketika mendapatkan nikmat. Secara berangsur dan lambat laun sikap lalai akan menjadi penyakit yang berbahaya. Lalai adalah bentuk penyakit yang memalingkan manusia dari berbagai bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menggambarkan bahwa lalai adalah akhlak tercela yang merupakan salah satu akhlak orang-orang kafir dan munafik. Allah Ta’ala pun memperingatkan tentang kelalaian dengan peringatan yang keras, sebagaimana firmanNya,
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَآ ۚ أُولٰٓئِكَ كَالْأَنْعٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولٰٓئِكَ هُمُ الْغٰفِلُونَ
“Dan sungguh, akan Kami isi Neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf 7: Ayat 179)
Hendaknya seorang muslim yang memiliki akal senantiasa berpikir, jangan seperti binatang ternak yang tidak memahami apa yang dia inginkan. Bahkan, kondisi binatang ternak itu lebih baik dibandingkan manusia. Karena binatang ternak tidaklah membahayakan kita, kecuali jika kita menyakiti dan mengganggunya. Binatang ternak juga tidak memiliki surga atau neraka, dan mereka diciptakan di dunia ini untuk berbagai maslahat di dunia. Manusia bisa menungganginya, memanfaatkannya untuk membawa barang-barang, atau dimanfaatkan daging dan susunya. Mereka tidak dibebani dengan berbagai kewajiban syariat.
Semangat dalam mencari kelezatan dunia akhirnya bisa melalaikan kewajiban sebagai seorang hamba. Betapa kita hidup di zaman yang serba kapitalis ini, tuntutan kebutuhan sangat berat dirasakan. Biaya hidup serba mahal, tak jarang membuat orang gelap mata dan menerjang yang haram demi dunia.
Gaya hidup kapitalis, memaksa manusia hanya memikirkan dunia. Kapitalisme yang sangat mengagung agungkan materi, memaksa manusia menjadi hedonis dan apatis. Banyak bersenang-senang dengan pakaian, makanan dan kelezatan dunia, materi dianggap puncak kebahagiaan, apapun ditempuh asal bisa mendapat materi, tak peduli agama atupun saudara, yang penting bisa kaya.
Kapitalisme mengajarkan manusia cinta dunia dan merasa hidup lama. Akhirat seakan hanya kisah dongeng sebelum tidur. Menjadikan hidupnya hanya mengabdi pada dunia, kerja, mencari nafkah, mengejar dunia melalaikan manusia dari akhirat.
Sedangkan orang-orang yang beriman memiliki sifat, diantara sifat tersebut adalah bahwasannya mereka tidak lalai dari Allah Ta’ala dengan sebab perdagangan ,pekerjaan dan urusan dunia lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
فِى بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُۥ يُسَبِّحُ لَهُۥ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْأَاصَالِ
“(Cahaya itu) di rumah-rumah (masjid) yang di sana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, di sana bertasbih (menyucikan) nama-Nya pada waktu pagi dan petang,” (QS. An-Nur 24: Ayat 36)
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجٰرَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلٰوةِ وَإِيتَآءِ الزَّكٰوةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصٰرُ
“orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual-beli dari mengingat Allah, melaksanakan sholat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat),” (QS. An-Nur 24: Ayat 37)
Lalai merupakan penyakit berbahaya bila seseorang telah terjangkit dan penyakit tersebut bercongkol pada dirinya. Maka ia tidak akan menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Allah, berdzikir mengingat-Nya, dan beribadah kepada-Nya, akan tetapi menyibukkan diri dengan berbagai perkara harta dunia yang sia-sia dan jauh dari dzikir mengingat Allah Ta’ala.
Wallahu a’lam
Abu Miqdam
Komunitas Akhlaq Mulia