Waspada! Political Traping Pra-Kampanye
Siapa lagi yang membuat citra demikian kalau bukan lembaga-lembaga survei mainstream bayaran berkali-kali yang dahulu ketika periode kampanye Jokowi dua periode selalu mengawali dan mengiringi persepsi publik memenangkan Jokowi.
Dari hasil survei jajak pendapat itu yang kemudian disebarkan seluas-luasnya melalui media-media mainstream juga, Ganjar selalu berada di lingkaran teratas bersama Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.
Sehingga, DPP PDIP pun dibuat “semilikiti” melihat kecenderungan itu. Tidak ada pernyataan tegas langsung dari Megawati atau Puan Maharani, selain dari juru bicaranya Masinton Pasaribu yang menegaskan silahkan Ganjar Pranowo mencalonkan Presiden, tapi menggunakan kendaraan politik di luar PDIP.
Tapi belajar dari kejadian kontras yang kontradiktif ini, satu hal yang mereka —siapa pun pelakunya yang jelas teridentifikasi sebagai kelompok lama Tim Pemenangan Jokowi, tidak disadari bahwa akibat ulahnya telah menimbulkan hal yang kontras kontradiktif pula yang seharusnya menjatuhkan bagi subyek yang menjadi korbannya:
Justru dengan peristiwa itu, sebaliknya malah Anies ibarat emas dan Intan berlian murni 24 karat semakin mengkilau. Orisinal dan geniune bak pualam makin moncer dipersepsikan publik sebagai orang yang terus dizalimi yang berarti Anies semakin tegak lurus untuk melapangkan jalannya menaiki tangga Kepresidenan.
Sebaliknya, Ganjar Pranowo yang masih menjadi dan berasal dari kader PDIP, dipersepsi publik terkemas dua kecurigaan buruk sekaligus: terjadi munculnya isu kerenggangan antara Megawati-Jokowi dikarenakan ada peristiwa Magelang atas inisiatif sukarelawan Projo yang menghadirkan Ganjar ketika Projo menggelar deklarasi menginginkan Jokowi 3 periode yang sudah jelas-jelas dilarang dan menabrak konstitusi.
Jelas, intinya dari peristiwa Magelang itu sepertinya Jokowi semakin memberikan sinyal kuat atas dukungannya kepada Ganjar Pranowo sebagai calon Presiden.
Dampak lanjutannya membentang citra buruk bagi PDIP dari peristiwa ini, adalah PDIP seolah semakin terjepit di sudut ruangan sempit, di satu sisi diduga ada upaya untuk menggeser kepemimpinan trah Sukarnoisme, di sisi lainnya membiarkan PDIP semakin berada tetap di panggung politik, tetapi berada di “menara sunyi kesepian” ketika anggota partai oligarki yang dipimpinnya: Golkar-PAN-PPP membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), disinyalir justru akan menjadi kendaraan politik Ganjar yang luar biasanya perestunya, Jokowi sendiri.
Lantas, ketimbang Megawati, sekarang secara politik Jokowi dipandang lebih berbobot dengan penyertaan siapa di belakangnya. Tak lain adalah para oligarki konglomerasi yang akan mem-back up-nya.
Mediasinya, adalah Luhut Binsar Panjaitan orang terpercaya di kabinet dan rekan dekatnya yang juga boleh jadi akan menjadi relasi usaha bisnisnya saat nanti Jokowi tak jadi Presiden lagi. Sekaligus Luhut, adalah kader petinggi partai Golkar yang lebih tinggi dari Airlangga Hartato sebagai Ketum-nya.