Yang Luput dari Pendidikan Al-Qur’an Dasar Kita

Jika akar dari permasalahan tersebut tidak segera terselesaikan, maka akan terbentuk lingkaran setan yang tidak pernah putus. Pengajar bahasa Arab yang merupakan produk kesalahan pengajaran bahasa Arab akan melakukan transfer pengetahuan yang salah kepada anak didiknya. Kemudian, jika anak didik tersebut suatu saat menjadi pengajar maka akan mengajarkan kesalahan lagi kepada anak didiknya. Begitu seterusnya tanpa mereka sadari. Oleh karena itu, diperlukan sebuah transformasi dalam pengajaran bahasa Arab dasar, yang berkaitan dengan pengajaran Al-Qur’an dasar juga tentunya, di Indonesia.
Di tengah iklim pembelajaran yang selalu berpatokan kepada bahan ajar tertulis sebagai pedoman, menerapkan transkripsi fonetik adalah hal paling dasar yang bisa dilakukan. Transkripsi fonetik adalah penulisan bunyi bahasa secara akurat dengan memanfaatkan huruf alfabet (Chaer, 2019). Jika dalam alfabet hanya ada huruf ‘e’, maka transkripsi fonetik mendetailkannya menjadi [e], [ɛ], dan [ə]. Karena ada transkripsi itu, kita bisa mengetahui bahwa antara [səri] yang berarti ‘imbang’ dengan [seri] yang berarti ‘macam’, ada perbedaan dalam pengucapannya.
Dalam transkripsi Arab-Indonesia, transkripsi fonetik berguna untuk mengalihbahasakan bunyi-bunyi bahasa Arab ke dalam alfabet Indonesia. Hal itu tentunya menjadi terobosan baru mengingat selama ini kita lebih umum berpedoman kepada buku Iqra yang hanya dipenuhi huruf hijaiyah tanpa panduan transkripsi Indonesianya. Dengan itu, pembelajar akan dimudahkan ketika mengulang pelajaran karena, walaupun tanpa pengajar, mereka tetap bisa melakukan muthola’ah pelajaran tanpa harus kebingungan bertanya kepada siapa. Di sisi yang lain, pengajar memiliki pedoman pengajaran yang lebih pakem dan indikator keberhasilan dalam makharijul huruf dapat lebih mudah dipatok.
Metode Qiroati: Sebuah Harapan Baru
Saat pertama kali masuk ke pesantren, saat itu tahun 2021, saya mulai mengenal metode Qiroati dalam pembelajaran Al-Qur’an tingkat dasar. Awalnya saya skeptis ketika pertama kali mempelajarinya. Bagaimana tidak, saya yang sudah berkali-kali khatam Al-Qur’an sebelum masuk pesantren harus mengulangi belajar Al-Qur’an dari dasar lagi. Mirip-mirip dengan Iqro’ dalam pandangan saya saat itu.
Akan tetapi, setelah saya mencicipinya untuk pertama kali, sebuah insight baru langsung saya tangkap. Ternyata belajar dengan metode Qiroati tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Pun tidak sama saat saya mempelajari Iqro’. Untuk mengkhatamkan sampai enam jilid, saya harus bersusah payah selama kurang lebih satu tahun. Saat itu, saya baru menyadari betapa kurangnya pendidikan Al-Qur’an yang selama ini sudah saya pelajari. Lantas, “Apa yang sudah saya dapat selama belasan tahun mempelajari Al-Qur’an?” pikir saya.
Kredo Qiroati adalah 3M, yaitu mangap, mringis, mecucu (menganga, meringis, dan mengerut). Maksudnya, dalam mengucapkan kalimat ber-fathah, mulut harus menganga selebar mungkin, kasrah harus meringis dengan maksimal, dan dhammah harus mengerut. Pelafalan sesuai makharijul huruf juga menjadi sesuatu yang sangat ditekankan, seperti harus bisa membedakan huruf-huruf yang mirip. Jika aspek-aspek tersebut tidak bisa dipenuhi, mau tidak mau para santri harus mengulang satu jilid yang sama selama berminggu-minggu, bahkan bisa berbulan-bulan.
Yang menjadi keunikan lain dari Qiraati adalah buku ajarnya yang tidak diperjualbelikan secara bebas. Untuk mendapatkannya, seseorang harus mendapat izin dari koordinator setempat yang ditunjuk oleh Koordinator Pusat Qiraati di Semarang. Selain itu, pengajar yang diperbolehkan untuk mengajar adalah mereka yang sudah lolos pembinaan dan pengujian untuk mendapat syahadah dari koordinator setempat (Zarkasyi dalam Effendi, 2022). Tentunya hal itu menjadi suatu kebijakan yang sangat cerdik untuk menghindari kesalahan yang terus berulang antara pengajar dengan yang diajarnya.
Akan tetapi, selama belajar dengan metode ini, masih ada sebuah kesulitan tersendiri bagi saya saat berhadapan dengan keinginan untuk muthola’ah. Saya kebingungan harus bertanya kepada siapa perihal beberapa pelajaran yang belum saya pahami, khususnya dalam pengucapan sebuah huruf hijaiyah. Karenanya, pembelajaran yang saya lakukan sebatas saat jam pelajaran. Kalaupun di luar jam pelajaran, saya harus coba mengingat-ingat cara pengucapan yang betul dari sebuah huruf. Dengan konsekuensi bisa saja salah tentunya.
Oleh sebab itu, seperti gagasan yang sudah saya paparkan sebelumnya, penting rasanya untuk menambahkan transkripsi fonetik dalam metode ini. Jika hal itu dilakukan, dorongan bagi para pembelajarnya untuk melakukan muthola’ah akan menjadi semakin besar. Sehingga, belajar Qiroati menjadi bisa dilakukan di manapun selama memungkinkan, tidak melulu harus di dalam kelas.
Terakhir, terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, harus diakui bahwa kemunculan Qiraati membawa semacam harapan baru di tengah pragmatisme pendidikan Al-Qur’an kita. Bukan tidak mungkin jika Qiraati terus didorong untuk tampil di permukaan, kualitas membaca Al-Qur’an dapat terdongkrak. Hanya saja, perlu diingat bahwa sebagus apapun suatu hal, selalu ada ruang evaluasi untuk menjadikannya semakin baik.[]
Muhamad Muflihun, Santri anti kemapanan.