EDITORIAL

Yudian Wahyudi: Profesor, Rektor, Kepala BPIP, Ujung-ujungnya ‘Ngahok’

Dipilih sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi tentu saja bukan orang sembarangan.

Gelar akademiknya berderet. Nama dan gelarnya ditulis lengkap Prof. Drs. K.H Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D di situs resmi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Doktornya dari McGill University, Kanada, jurusan Islamic Studies. Pernah juga belajar di Harvard Law School.

Pria kelahiran Balikpapan, 17 April 1960 ini juga lulusan Pondok Pesantren Tremas, Pacitan dan Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, Yogyakarta.

Yudian adalah seorang akademisi yang produktif. Menurut Wikipedia, ia disebut telah menerjemahkan 40 buku bahasa Arab, 13 bahasa Inggris, dan dua buku berbahasa Prancis ke bahasa Indonesia. Belum termasuk artikel-artikel ilmiah.

Karena itu Yudian dengan ‘pede’nya pernah menantang Menristekdikti M Nasir. “(Apabila) jurnal saya dalam bidang masing-masing dengan Pak M Nasir itu kalah duluan tahunnya, dan jurnalnya kalah wibawa, dan hasilnya kalah pengaruhnya, saya turun dari rektor,” kata Yudian menggebu-gebu saat berpidato di depan wisudawan UIN Sunan Kalijaga, Rabu (7/8/2019) lalu.

Diangkat sebagai Kepala BPIP oleh Presiden Jokowi, ia diminta untuk membumikan Pancasila khususnya kepada generasi muda. Targetnya 129 juta anak muda Indonesia di bawah usia 39 tahun.

Karena saking cerdasnya, tepat sepekan usai dilantik, ia langsung ingin membumikan Pancasila bukan hanya kepada 129 juta generasi muda, tetapi ke seluruh rakyat Indonesia yang jumlahnya 260 juta lebih.

Dengan mengatakan, “agama musuh terbesar Pancasila”, Yudian berarti menyeret seluruh rakyat Indonesia untuk turut terlibat dalam perbincangan ini

Yudian, yang jadwal pensiunnya sebagai PNS jatuh pada 1 Mei 2030 mendatang, adalah seorang Guru Besar atau Profesor di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Pangkatnya Pembina Utama Madya, golongannya IV/d. Selangkah lagi, pangkat dan golongannya bakal paling puncak, Pembina Utama IV/e. Bagi seorang dosen, Guru Besar atau Profesor adalah jabatan puncak.

Jabatan strukturalnya adalah Rektor. Menurut Keppres 9/1985, Rektor PTN termasuk Pejabat Eselon 1a. Satu kelompok dengan Sekjen, Dirjen, Irjen dan Kepala Badan di Kementerian.

Yudian menjabat sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga untuk periode 2016-2020. Ia dilantik oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Kantor Kemenag, Jl Lapangan Banteng, 12 Mei 2016 lalu. Artinya, sekitar tiga setengan bulan Yudian bakal merangkap jabatan, sebagai Rektor sekaligus Kepala BPIP.

Dua isu kontroversial yang menarik nama Yudian adalah soal pelarangan cadar bagi mahasiswi di kampus UIN Sunan Kalijaga dan meloloskan disertasi milk al yamin karya mahasiswa tingkat doktoral, Abdul Aziz, yang oleh banyak kalangan disebut melegalisasi zina.

Ujungnya ‘Ngahok’

Siapa sangka, dengan ‘kecerdasan’ dan berderet gelar yang dimilikinya, ternyata setelah menjadi pejabat BPIP, Yudian ujung-ujungnya ‘Ngahok’ dan sekuler.

Adalah situs berita Tempo.co, edisi Jumat 14 Februari 2020 yang menurunkan berita berjudul “Kepala BPIP: Dalam Berbangsa, Geser Kitab Suci ke Konstitusi”. Berikut sebagian dari isi berita itu:

Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi mengimbau semua umat beragama untuk menempatkan konstitusi di atas kitab suci dalam berbangsa dan bernegara. Adapun untuk urusan beragama, kembali ke masing-masing pribadi masyarakat.

“Saya mengimbau kepada orang Islam, mulai bergeser dari kitab suci ke konstitusi kalau dalam berbangsa dan bernegara. Sama, semua agama. Jadi kalau bahasa hari ini, konstitusi di atas kitab suci. Itu fakta sosial politik,” kata Yudian saat ditemui Tempo di Kantor BPIP, Jakarta, Kamis, 13 Februari 2020.

Pandangan Yudian ini, sama persis dengan pandangan Ahok, Basuki Tjahaja Purnama, yang dilontarkan pada 2013 lalu saat masih menjabat sebagai Wagub DKI Jakarta.

Setahun kemudian, di acara diskusi ILC tvONE, mantan Ketua GP Ansor yang saat jadi politisi Partai Golkar, juga menyebut hal yang sama. “Ayat konstitusi di atas ayat Al-Qur’an.”

Pandangan inilah yang akhirnya ‘memanaskan’ masyarakat. Maka, pada khotbah Jumat di Lapangan Monas, 2 Desember 2016, Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab dengan lantang mengingatkan umat Islam, hukum Allah di atas segalanya. Ayat suci di atas ayat konstitusi.

Dengan sepak terjang Yudian yang kontroversial seperti itu, nampaknya cita-cita Wapres KH Ma’ruf Amin yang disampaikan saat kampanye Pilpres pada 2 September 2018 lalu, bahwa pada 2024 nanti tak ada lagi konflik ideologi dan persoalan kebangsaan hanyalah ilusi belaka. Sebab Kepala BPIP-nya saja terus menyemburkan gagasan kontroversial yang memicu perdebatan tak berujung. Wallahu a’lam. [MS]

Artikel Terkait

Back to top button