Zaman Pembungkaman
Ia ingin di puji. Supaya ia dapat berkuasa sekuasa-kuasanya. Ia ingin leluasa menggadaikan negara di tangan asing, dengan kebijakan semi-kolonialnya.
Dia ingin dipuji, agar dapat berkuasa kembali. Semua kritik dikriminalisasi, semua topik pembicaraan yang menggugat kebijakannya ingin dia bungkam.
Sudah banyak orang dihadang di Bandara. Sudah beberapa kali kegiatan diskusi dibatalkan. Ruang akal sehat ditutup rapat.
Elektabilitasnya sedang ambruk, dirampas oleh kebohongannya sendiri. Kepercayaan publik telah hilang dari dirinya, yang tersisa hanyalah keinginan berkuasa dengan modal obral janji-janji.
Dalam kondisi elektabilitas yang merosot itu, ia ingin supaya semua orang memujinya. Kampus diatur narasinya, mahasiswa dibentuk supaya miskin nalar kritisnya.
Kekhawatiran gagal untuk berkuasa menyebabkan ia nekat untuk melakukan segala cara. Semua narasi yang memungkinkan untuk merenggut sisa elektabilitasnya dikriminalisasi dan dilarang.
Tekanannya terhadap mereka yang kritis semakin memuncak menjelang pemilihan raya, Karena kritikus ini merugikan bagi tuan pemimpin yang lagi ikut kontestasi.
Meskipun semua struktur telah digerakkan, semua fasilitas negara digunakan, tetap saja rakyat ingin perubahan. Merubah pucuk pimpinan untuk memperbaiki segala kerusakan yang terlanjur dibuat.
Setelah kegagalan mengampanyekan infrastruktur, keberhasilan yang disulap sedemikian rupa, maka jalan satu-satunya adalah membungkam narasi yang meluruskan akal sehat publik.
Perlakuan kekuasaan ini semakin buktikan, pergerakannya semakin sempit, dukungan rakyat semakin kecil, dan mobilisasi massa semakin mengambang.